Kinah Bali Rejo

Tak ada lagi hijau di tanah itu. Tanah kering berpasir di kaki Merapi merunduk malu di hadap pantai selatan. Debu-debu melambung dihempas angin. Ceruk-ceruk gersang menyapa langit. Kabut-kabut menyapa dahan kering. Sementara embun terus menangis merindukan dedaunan yang telah terbelah dan kerontang.

Sesuatu pernah terjadi di tanah itu. Di dusun itu. sembur panas lahar pecah di mulut perkasa Merapi. Kaki-kaki kecil berlari di ujung julur api. Hidup adalah lebih penting jika pilihan itu masih ada. Mengada di antara keberadaan yang lain. Lari adalah pilihan akan hidup bukan menghindar dari kematian. Lelakon kehidupan harus terus dimainkan.

Kesunyian meliputi tanah itu. Kinah Bali Rejo. Rumah telah menjadi puing-puing. Bekas-bekas peradaban tertindih batu dan pasir. Tak ada bekas-bekas kaki di raung dapur. Hanya ada bekas cabang-cabang aliran air hujan. Tak ada lagi cicak dan semut yang bermain di pojok-pojok tembok. Semua telah pergi meninggalkan tanah itu. Mereka semua belum kembali di tanah Kinah Bali Rejo.

Mereka belum kembali. Tetapi mereka punya harapan untuk kembali. Harapan untuk kembali ke saat si kecil bermain-main di halaman rumah di permulaan sosialitasnya. Harapan untuk kembali mendengarkan irama indah di sudut istana si mbah Marijan. Harapan untuk kembali berdengang syair kehidupan di kaki kedigdayaan Merapi. Harapan itu adalah gugur bayang-bayang truama dan ketakutan yang mencoba menjadi nyata dalam alam yang damai. Bayang-bayang itu hendak mencekik nafas kehidupan. Pelan-pelan bayang-bayang itu lenyap saat mentari harapan kian tinggi. Harapan untuk hidup lebih baik.

Surau itu kembali berdiri. Tegak di antara puing-puing yang roboh dan daun kering yang bergelantungan di tiang miring. Surau simbol harapan. Bahwa kehidupan akan kembali di tanah itu. surau mbah Marijan di atas tanah pasir Kinah Bali rejo. Langit biru tua menyapa awal baru kehidupan di purna bencana. Lambaian gerak awan seakan tangan yang memanggil kembali mereka yang penah merajut kehidupan di kaki Merapi itu.

Kerumun senja meniupkan embun yang menyejukan hati yang meratap. Ratapan akan jiwa-jiwa tercinta yang pergi ke dunia yang berbeda. Ratapan hanyalah kenang akan kepergian mereka bahwa kepergian itu telah tercatat di ujung hati. Ratapan pun semakin berarti saat kehidupan Kinah Bali Rejo kembali. Lanjutkan kembali cita mereka yang hampir patah. Biarlah ujud doa menembus awan bersama embun yang terbang saat mentari kembali di esok pagi.

(saya membaca kembali refleksi ini dengan iringan instrumental “The Moment” by Kenny G)

Ilustrasi foto oleh Riki Mitak

Djogja, 18 Januari 2011
Alfred Tuname       

Komentar