Gayus: Diskursus "Place Of Power"

Genealogi kasus mafia pajak Gayus Tambunan berasal dari Jenderal Bintang Tiga Susno Duadji yang meniup gelembung besar kasus mafia pajak. Rekayasa vonis bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang diberikan kepada Gayus Tambunan setelah sejumlah besar uang dari rekening pagawai pajak itu mengalir kepada penyidik, perwira polri, jaksa dan hakim. Balon besar ini pun pecah ke hampir setiap organ pemerintah yang berjejaring dengannya. Dan kasus mafia pajak ini bukanlah resultante dari kasus "cicak-buaya" yang pernah merebak. Kasus mafia pajak Gayus adalah rentetan multiplikasi masalah hukum dan ketidakadilan yang bersarang di negeri ini. Virus KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) telah menyebar ke seluruh "otot dan persendian" yang menjadi fundamen bangsa ini. Virus ini telah bekerja baik dalam kasus Century, cicak-buaya dan mafia pajak Gayus Tambunan. Akibatnya, sistem pemerintahan pun menjadi ringsek dan kropos.


Silang sengkarut kasus mafia pajak Gayus belum berujung pada keputusan hukum yang pasti. Ulur-ulur keputusan itu terjadi setelah rentan perentangnya tersangkut kait kuasa. Adanya jaring kuasa yang terkail dalam kasus ini membuat pusaran masalah mafia semakin terbelit. Kasus mafia pajak Gayus melibatkan perusahan-perusahan milik Aburizal Bakrie yang nota bene adalah ketua umum partai Golkar. Kencang tuntutan akan penyelesaian kasus mafia pajak Gayus dengan semua orbit yang termasuk di dalamnya membuat pajabat politik Golkar, Aburizal Bakrie, semakin terdesak. Dan indirectly, kasus mafia pajak Gayus dipersilakan masuk dalam tolak-tarik politik tanah air.


Tergenangnya Aburizal Bakrie dalam kubangan kasus mafia pajak Gayus sudah pasti mendapat simpati dan reaksi segenap aparatus elite partai Golkar. Aparatus elite partai Golkar menangkap intensi akbar dalam air keruh kasus mafia pajak Gayus. Teleologis intensi akbrat tersebut adalah pasungan politis ketua umum partai Golkar tersebut untuk pilpres 2014. Untuk itu, lawan politiknya menancapkan cakar untuk mengembosi sumber-sumber dan jalur-jalur politis.


Seperti ular yang terjapit, aparatus elite partai Golkar mulai menggeliat. Koalisi gabungan partai-partai besar yang pernah terbentuk untuk meninabobokan kasus Century terancam retak dan berjalan sempoyongan. Aburzal Bakrie yang juga ketua koalisi tersebut meniup sangkakala perang terhadap lawan-lawan politik. Sekarang, teman menjadi lawan. Inilah ironi politik. Kasus Century yang masih hangat di kubur digali kembali. Kasus Century diduga dapat menjerat wakil presiden Budiono dan partai Demokrat. Tetesan madu dana billout Century terindikasi masuk dalam dana pilpres partai Demokrat. Kebijakan dana billout Century terjadi saat Budiono menjadi Gubernur Bank Indonesia. Sementara vested interest lain mencoba "bermain-main" di air keruh tersebut.


Kasus mafia pajak Gayus dan juga kasus-kasus besar di tanah air tak lepas dari pengaruh kekuasaan yang bersemayam di balik temboknya. Sebaran kekuasaan dalam setiap kasus mengakibatkan tolak tarik penyelesaian dan kompromi. Tolak tarik penyelesaian kasus dan kompromi tersebut menandakan adanya relasi kuasa yang saling mempengaruhi. Tidak ada relasi yang mendominasi kuasa yang lain. Semuanya saling mendominasi satu sama lain. Masing-masing kuasa kait-mengait satu sama lain. Kekuasaan politik tidak hanya menempati dimensi-dimensi tertentu, simbolik maupun posisi sosial tertentu. Kekuasaan Hobessian yang diletakan pada negara (state) atau institusi politik tertentu ternyata tidak bekerja by itself. Cerita tentang Gayus yang keluyuran ke Bali, Singapura, Macau dan memiliki dua kewarganegaraan mengungkapkan bahwa terdapat jaring-jaring kekuasaan yang berada di sekitar Gayus. Bukan karena ia mampu membayar semua itu tetapi karena kekuasaan politik "invisible hand" yang bermain mata dengannya (the men behind the case). Relasi dan konstruksi kekuasaan yang dimainkan Gayus menandakan kehandalan "place of power" yang melekat pada Gayus.


Samuel Newman  mendefinisikan "place  of  power"  refers  here  to  an  abstract  symbolic  position, through  which both  power  relations  and  political  identities  are  organized  and  constituted. Artinya, power atau kekuasaan tidak melekat pada body atau figur yang berkuasa tetapi pada jaring relasi yang dibangun. Dalam politik modern, bangunan-bangunan jaringan menjadi unsur penting untuk mengafirmasi "place of power". Aburizal Bakrie membuka jalan tikus ke kantor Direktoral Jenderal Pajak untuk "keamanan" perusahaan-perusahaannya. Jalur tersebut mengatarkan komandan partai Golkar tersebut pada sindikat mafia pajak bersama street level bureaucracy Gayus Tambunan. Bau amis sindikat ini terendus. Leher komandan partai Golkar mulai terasa dicekik. Golkar melirik Demokrat sebagai pasangan mesranya untuk meninabobokan kasus mafia pajak Gayus. Penyelesaian hukum kasus gayus pun tersendat-sendat dan tidak tuntas. Aparatus hukum pun tidak berdaya. Cengkraman kekuasaan yang terorganisasi rapi membuat daya aparatus hukum melempem. Kasus mafia pajak tidak tuntas. Desakan rakyat terhadap virus KKN dalam kasus mafia pajak Gayus membuat presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sekaligus pembina partai Demokrat, mengambil tindakan cepat dan tangkas. Rakyat menagih janji pemberantasan korupsi. Instruksi percepatan penyelesaian kasus mafia pajak Gayus pun dikeluarkan. Kebijakan ini mendapat reaksi politis partai Golkar. Kemesraan Golkar dan Demokrat terancam talak. Golkar mengancam dengan penyelesaikan kasus Century. Apa yang akan terjadi, wait and see!


Seperti kasus-kasus pelanggaran hukum dan KKN sebelumnya, kekuatan-kekuatan lobi dan kompromi jaring-jaring kekuasan dapat menenggelamkan semua perkara hukum tersebut. Kekuatan-kekuatan politik saling mengafirmasi untuk mengamankan kepentingannya. Rakyat seakann tidak dapat berbuat banyak menghadapi kekuatan-kekuatan itu. Lihat saja penyelesaian kasus mafia pajak Gayus. Keputusan hukum hanya terjadi dipermukaan. Gayus Tambunan mendapat hukuman pindana 7 tahun penjara, denda Rp 300 juta dan subsider 3 bulan. Sementara akar-akar mafia tersebut tidak tersentuh (untouchable) apa lagi tercabut. Para "the don" masih berkeliaran bebas. Dan profil penegakan hukum (law enforcement)kita masih berjalan tunduk dan takut pada penguasa dan jaring-jaringnya. Rakyat dalam kebingunan dan "ignoramus et ignorabimus" retoris bertanya, "quo vadis hukum Indonesia? Pro keadilan atau mafioso? Dalam pendekatan marxis, defacto negara (state) kita adalah refleksi dari kekuatan-kekuatan “borjuis” politik yang mengabdi pada kepentingannya an sich. Rakyat hanyalah pelengkap dalam parade demokrasi dan kerumunan yang hanya bisa bersorak dan mengeluh di pojok tribun sebuah stadion yang bernama negara republik Indonesia.


Djogja, 21 Januari 2011
Alfred Tuname

Komentar