MERAPI


                                                                                :untuk para pengungsi Merapi


“Harapan seperti sekilas cahaya
Menerangi dan memeriahkan jalan kita
Dan ketika kelam semakin menyelubungi malam
Memancar cahaya yang lebih tajam”

-Oliver Goldsmith

Djogja yang berhati nyaman menjadi belum aman bagi sebagian orang, khususnya mereka yang berdomisili dan mengais rejeki di sekitar lereng Merapi. Gunung Merapi yang indah sedang berulah. Bukan karena gunung itu kekanak-kanakan tetapi itu terjadi sebab siklus alaminya. Erupsi dan abu panas merayap membasuh kehidupan yang ada di sekitarnya. Lereng Merapi yang ramai kembali sunyi. Terang dan gelapnya terus mencekam. Nyaris tak ada kehidupan. Mungkin hanya lalat-lalat yang menghisap sari dari bangkai binatang. Mereka pun tetap terbirit-birit jika abu datang menyapa.

Manusia, cuasa secunda, turun melembah. Mereka tidak lari dari Merapi. Mereka hanya menyelamatkan hidup mereka dengan keyakinan pasti kembali. Sudah lama mereka bersahabat dan berdampingan dengan Merapi. Lereng Merapi telah memberi mereka kehidupan. Alam Merapi yang subur sudah lama menjadi ibu yang baik bagi mereka.

Merapi tidak sedang geram. Ia tidak marah. Ia hanya  menghayati eksistensinya sebagai gunung berapi. Keagungannya ada pada eksistensinya. Muntahan lahar dan abu panas bukan pula sebuah kebetulan. Ia sudah memberi tanda sebelum semuanya terjadi. Tidak hanya butuh kecerdasan pikir untuk membaca tanda itu, kecerdasan pikir dan intuisi yang peka adalah komposisi yang sempurna untuk membaca tanda. Di sinilah keseimbangan mikrokosmos dan makrokosmos tetap terjaga. Sebab, seperti dalam cerita The Celestine Prophecy, James Redfield, “kebetulan-kebetulan itu serasa telah ditentukan sebelumnya, seolah hidup kita telah dibimbing oleh kekuatan yang tidak bisa dijelaskan”.

Merapi  tak lagi lembab dan segar. Sudah mulai terasa panas. Dedaunan dan dahan patah dan mengering. Dedaunan dan dahan mulai diganti semen dan beton. Wajah alam mulai kehilangan rupa. Tidak seperti wajah asali. Ia bertopeng dan kering, tidak ada garis-garis emosi. Sang ibu ingin kembali memperlihatkan punggungnya yang indah. Erupsi dan abu adalah kosmetik alam untuk kembali mempercantik wajah virgin Merapi. Wajah Merapi dengan selendang hijau nan lebat melingkar lembah dan punggung Merapi. Merapi tidak mengusir manusia. Ia hanya ingin sedang sendiri dalam siklus pemolekan dan hanya meminta penjaga setianya membantunya.

Langit Djogja sudah mulai cerah. Tak lagi kelabu dan pekat. Semoga pertanda solekan Merapi hampir selesai. Dan jika sudah selesai, hujan dan embun akan membersihkan sisa-sisa kosmetik yang berserakan. Dan senyum hangatnya akan menyambut manusia yang kembali ke pangkuannya. Ia hanya meminta manusia merawatnya dan memanfaatkan keramahan alam secukupnya, tidak berlebihan. Saatnya, lembah-lembah Merapi kembali permai dan Djogja selalu berhati nyaman. Selalu ada kepastian pagi yang indah setelah malam yang gelap dan dingin.

Alfred Tuname
Djogja, 11 November 2010

Komentar