Demos-Stressing Media

Sejak lahir, seorang anak sudah diperkenalkan dengan bahasa. Bahasa itu dalah bahasa ibu. Melalui bahasa seorang anak dibabtis untuk masuk ke dalam kebudayaan manusia. Bahasa itu terus berkembang dalam proses komunikasi. Dengan komunikasi, manusia tidak saja mempraktekkan cara berbahasa tetapi juga menyampaikan pesan dan idea. Dan sejak tulisan-tulisan pemikir Bakhtin beredar diketahui bahwa “no human voice is single”. Lalu dalam tulisan Vygotsky dan Freud dikenal bahwa “human mind is equally polyponic”. Manusia pun mengukuhkan dirinya dengan berpikir dan berbahasa. Itu terjadi dalam proses komunikasi. Itu berarti manusia tidak saja dibentuk melalui DNA tetapi juga melalui dialog-dialog.

Dengan bantuan tekhnologi yang super canggih, komunikasi di antara sesama manusia semakin banyak ragam. Manusia modern pun masuk dalam abad informasi. Sekarang, informasi bertebaran di mana-mana. Informasi bergerak dari belahan dunia yang satu ke belahan dunia yang lain. Otak manusia pun hampir-hampir tak mampu menampung arus informasi tersebut. Arus informasi yang serba canggih dan cepat dunia seakan sedang dilipat dan Marshall McLuhan menyebutnya sebagai “global Village”. Arus informasi yang kuat dan melekat di masyarakat semakin meningkatkan ilmu pengetahuan. Dan keduanya, informasi dan pengetahuan adalah rumus identitas dan sangat sulit untuk dipisahkan. Informasi dan pengetahuan saling silang membanguna peradaban dunia yang lebih baik.

Arus informasi dan pengetahuan bergerak melalui media yang ada di masyarakat. Surat kabar, radio, majalah, jurnal,  televisi, internet dan lain-lain. Media pun berperan sangat penting dalam perubahan masyarakat. Seorang teoritisi komunikasi Rosa Mario Alfaro (2006) menulis bahwa “today the media constitute a crucial source of civic education and legitimization of democratic power”. Media sangat berperan penting bagi penguatan demokrasi.  Dan posisi demokrasi dan media adalah resiprokal. Keduanya saling mempengaruhi. Demokrasi memberi kebebasan kepada media (freedom of the press). Di sini media berperan dalam aktivitas komunikasi antara state dan public. Status independensi media sangat berpengaruh pada partisipatory demokarasi sehingga menghindarkan noise dalam komunikasi state dan public. Media harus lepas dari kekuatan dominasi ekonomi dan kepentingan politik.

Douglas Kehler menulis “yet democracy also  requires  a  knowledgeable  electorate  that  can  participate  in  political affairs”. Public pun harus memiliki pengetahuan yang cukup dan informasi yang baik untuk terlibat dalam persoalan politik (public, elections, and political activity) . Selain itu, dengan pengetahuannnya itu publik dapat bersikap kritis terhadap media dan pemerintah. The sovereignty of people terlihat dalam persoalan ini. Sebab masyarakat yang tidak adequately informed akan hanya menjadi pemirsa politik dan kambing congek.

 Menyadari betapa pentingnya media, para elite politik dan intelektual melegitimasi diri dengan telibat  diskursus dalam interaksi dengan berbagai media. Boleh dikatakan mereka adalah masyarakat well informed. Mereka terlibat diskusi dan kritik dalam pentas media. Peran mereka sangat urgen dalam membangun demokrasi. namun sering kali, aktivitas mereka itu tidak terlepas dari dukung-mendukung politik  terhadap penguasa atau anti kuasa. Ada kelompok yang berafiliasi dengan kelompok penguasa dan ada kelompok yang berafiliasi dengan kekauatan oposisi. Media pun memakai orang-orang ini untuk kepentingan media itu sendiri.

Di negara ini, peran media sangat kuat pengaruhnya dalam masyarakat. Media pemberitaan cukup berhasil menajamkan perspektif demokrasi bagi masyarkat Indonesia. Namun, dalam perkembangannya selanjutnya, beberapa media justru tidak berperan sebagai media yang independen. Pressure kepentingan politik dan ekonomi sangat kental mempengaruhi beberapa media di Indonesia. Akibatnya, media tidak lagi saling berkompetisi untuk menyampaikan voice of voiceless dalam proses komunikasi diagonal state dan public tetapi justru saling berperang antara sesama media untuk membela kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi tertentu.

Suatu saat seorang  bapak mengirim pesan singkat begini: “sekarang Metro Tv dan Tvone saling sikat. Mereka berperang dalam pemberitaan”. Bapak tersebut adalah cermin dari publik yang sadar pemberitaan. Sebagian besar publik pun juga sudah sadar media. Terminologi saling sikat seharusnya tidak ada dalam media. Media dalam banyak hal seharusnya netral. Saling sikat adalah seperangkat frase dalam kamus politik. Politik saling sikat ini adalah mereka yang berada di balik media. Pemilik dan penyandang dana. Media dipakai untuk meraih kekuasaan baik ekonomi maupun politik. Merekalah yang sedang bertarung. Media dipakai untuk memanipulasi dan menyebarkan opini publik. di sini, media adalah aparatus ideologis. Aparatus ideologis ini dipakai untuk menguasai kehidupan suatu negara. Abad ini, kontrol dan penguasaan atas sumber informasi, media dan pengetahuan merupakan elemen kekuasaan. Penguasaan atas apartatus ideologis setali tiga uang dengan penguasaan atas sumber-sumber ekonomi oleh segelintir elite yang menetek pada kekuasaan.  Relasi keduanya adalah saling proteksi. Lihatlah tragedi bangsa ini pada kasus lumpur Lapindo, bank Century, pendepakan Sri Mulyani, “markus”, mafia pajak Gayus Tambunan dan banyak kasus korupsi lainnya. Beberapa media melakukan manuver untuk memproteksi muslihat ini dengan membentuk opini publik dan shifting pemberitaan. Tujuannya adalah melindungi “the godfather”. Dengan demikian, kultur politik dan media di tanah air cenderung memiliki, dalam istilah Noam Chomsky, “perilaku membisu”  dan “pembenaran diri” atas kejahatan-kejatanan besar “the boss”. Lalu apa yang sebenarnya ditonton publik kalau bukan hanya kebohongan publik?

Media Indonesia sudah terbiasa mengupayakan “penundukan pikiran publik”. manipulasi, indoktrinasi dan rekayasa opini publik sering disodorkan kepada publik. Sebenarnya masyarkat sudah muak terhadap cerita-cerita media. Belum lagi rasa muak rakyat terhadap penyelenggaraan hukum yang “maju tak gentar membela yang bayar”. Aparatus ideologis sudah dikorosi, aparatus negara sudah korupsi apalagi yang diharapkan selain menunggu “perahu” bangsa ini karam atau dibajak orang lain. Harapannya tinggal satu yakni “nahkoda” yang tegas mengambil sikap untuk memperbaiki dan mengganti mesin-mesin yang  rusak dan berkarat. Atau jangan-jangan tangan sang “nahkoda” sudah dikontrol juga?

Djogja, 21 November 2010
Alfred Tuname

Komentar