Puisi

“Buah apel yang kubelah dengan pisau sajakku
tengadah di atas meja”
-A. Y. Herfanda (Resonansi Buah Apel, 2001)

“Perhaps no person can be a poet, even enjoy poetry,
without a certain unsoundness of mind”

-Lord Macaulay

Pernah kukiblatkan jumput-jumput rasa. Genesis, kita berjumpa sebab kata. Kita pun berjanji dalam kata. Hingga kini, kita bermain di tiang-tiang itu. Tiang kata-kata. Dan dengan tiang-tiang ini manusia membangun rumah. Rumah kedamaian. Rumah kebebasan. Mereka yang betah memikul tiang-tiang itu adalah penyair. Penyair memoles tiang-tiang itu dengan ritme tarian indah. Dalam rentang durasi, tiang tegak berdiri di antara masa lalu kaya dan masa depan yang bebas. Tiang-tiang itu menjadi puisi.

Puisi pun menjadi bisikan-bisikan dari ceruk hati sementara tarian melenggok berteriak tentang eksistensi. Ia berbisik di permukaan samudera ketidakpastian. Bisikan itu bisa seperti keindahan amor vincet omnes, penyair Romawi Virgil atau jeritan hati yang terluka, penyair Arab Taufik Shayigh atau kegelisahan tanda hidup, Sitor Situmorang, atau pekik humanisme vitalis, Chairil Anwar dan T. S. Eliot atau juga letup-letup anti-penindasan, Wiji Tukul atau belada kegilaan, Artaud, atau bahasa romantisme aristokrasi, Shakespeare dan Oscar Wilde dan senandung semesta Henry Thoreau, et cetera. Bisikan itu mengalun pelan menjelajah syahwat penikmatnya. Kadang dijadikan ideologi, inspirasi juga motivasi atau apa-lah. Tetapi puisi tidak berhenti dan rebah pasrah di situ. Puisi adalah bahasa “pembangkang”. Pembangkangan atas diri yang terkurung dalam ketakberbahasaan. Pembangkangan terhadap kekakuan dan penjara makna. Pembangkangan atas eksistensi yang ditelungkupkan. Dari balik gua nan gelap, puisi disembur dalam pujian, sanjungan, gugatan dan kritikan. Di sini, kristal-kristal puisi buncah di antara Warheit und Dictung (kebenaran dan kenyataan), totalitas dan impasse, hikpokrit dan patriotisme, nasional dan mundial, cabul dan suci, kabung dan lahir.
Bersama puisi, kata berubah makna. Ia tidak lagi laterlijk. Kata dipecahkan dari kukungan kegelapan makna yang membatu, dikuliti lalu dipoles menjadi porselin dengan energi cahaya baru tanpa keusangan konteks. Kata pun menjadi pelor berselongosong baru siap ditodongkan pada sasaran tembak. “Kata adalah senjata (berisi peluru)”, kata Subcomandante Marcos. Sebab ketakutan pada kata-lah, rezim Orde Baru mengehilangkan eksistensi Wiji Tukul. Wiji Tukul pernah menciptakan senjata perlawanan yang paling mematikan, puisi. Kalau benar, Wiji Tukul telah kalah, tetapi puisi telah menang. Ini prosa dari hulu politik.

Maka puisi adalah bahasa perasaan. Ia bisa lembut dan bisa saja keras (cressendo). Puisi seperti angin yang menjelajahi semua lanskap dan menyentuh setiap kontur. Perasaan dalam puisi mengekstraksi keadaan eksistensial yang membaur dalam persepsi dan aktivasi. Abstraksi dalam harmoni puisi pun tidak terhegemoni oleh kerangkeng apa pun. Spontanitasnya mendobrak palang dan menghancurkan tembok penghalang. Kebekuan dan kematian makna pun cair di sini. Puisi pun tidak berhenti pada ekspresivitas dulce et utile sebab ia bisa menjadi mimpi buruk bagi bentuk pemahaman yang mapan. Intelektual Arab, Issa J. Boullata, berintensi “...kata (pun) memiliki cabang baru dan berdaun rindang sementara penyair menciptakan riasan makna-makna baru yang muncuk secara tiba-tiba...”. Bahkan puisi membebaskan pengertian dari alfabet-nya. Dan dalam panji-panji puisi, kebebasan manusia (penyair) bergerak dari parsialitas kepada univesalitas. Ia merangsek semua titik kehidupan dan membuka makna baru yang hidup.

John Withworth (Writing Poetry, 2006) menyeletuk sedikit tentang puisi. Ia menulis “poetry is the part of memory of human race”. Pengalaman manusia tidak lenyap dalam diaritisas pribadi tetapi teraklamsi ke dalam pentas unversal. Philip Larkin pernah menulis “he (manusia) wrote poems to preserve his experinces”. Dan ketika ekspresi ini memorable, puisi pun melincut dalam part of memory.

Juga John Withword pernah berprosa. “I once talked about poetry to a hall full of French Schoolchildren-someone in the question-and-answer session that it was abviously in an absorbing hobby. But is isn’t a hobby: poetry is my life”. Puisi berisi centang-perentang pengalaman hidup. Hidup pun menjadi seni dalam keabadiannya (ars longa). Goresan-goresannya merupakan kitab nan agung karakter manusia yang bisa mengais disputandum hingga waktu yang tanpa batas. Setiap lembarnya berisi ketakjuban-ketakjuban searah gairah keingintahuan manusia yang tak pernah berhenti. Berhenti berarti kematian. Ketakjuban itu tertanda maklumat realitas dan pandangan yang baru dari tinta sang penyair. Dari kesadaran batin dan ingatannya, penyair dan tetangganya (pembaca) tentu punya perbedaan realitas dan pandangan.

Dengan demikian, sampailan kita pada gairah kepenyairan seraya mengamini pandangan penyair Adõnis bahwa “seorang penyair adalah manusia yang berjalan seraya memanggul beban dan tanggung jawab, menjelaskan kebutuhan esensial untuk pribadi dan kelompok, dan melihat satu wilayah yang menjerumuskan dalam kegelapan, kemudian dia menulis puisi yang mengungkap kontradiksi sebagai akar perpecahan, dan melalui perdebatan membuka cakrawala solusi yang mungkin dilakukan untuk perubahan (Issa J. Boullata, 2007)”.

Dan, jika poetry is my life maka hidup akan semakin manis dan indah dalam maknanya. Puitikal hidup semakin layak dihidupi dan terasa penjang dalam kehidupan yang hanya mampir ngombe (vita brevis). Progresi hidup pun tidak statis prosaik. Teruslah berkreasi, penyairku!!! Dengan silet puisimu, terbelalah semua apel kemampanan makna yang di dalam daging tidur ulat-ulat belatung gemuk. Alamak!

Jogja, 01 Oktober 2010
Alfred Tuname

Komentar