GENOTIPE DEMOKRASI LOKAL


“The basis of a democratic state is liberty”
-Aristotle, The Politics

Demokrasi bukanlah barang baru bagi segenap bangsa Indonesia. Konsep demokrasi dikenal dan telah implementasikan sejak negara Republik Indonesia ini terbentuk bahkan sebelum terbentuk. Meski demikian, sejak awal Soekarno telah mengingatkan bangsa ini untuk mencari sendiri bentuk demokrasi ideal yang sesuai dengan watak dan kepribadian bangsa Indonesia. Demokrasi Indonesia terus mengalami perubahan bentuk. Demokrasi selalu dinamis. Perubahan ini terjadi setelah proses dialektika  antara penguasa dan warga negara sebagai pemilik kekuasaan itu. Ideolog partai Demokrat Jerman, Willy Eichler, pernah mengatakan demokrasi bukanlah suatu nilai statis yang terletak di suatu tempat di depan kita, lalu kita bergerak menuju ke sana untuk mencapainya. Demokrasi Indonesia mulai kelihatan bentuknya setelah memasuki masa reformasi. Hal ini diwakili oleh pernyataan Gus Dur sesaat setelah dirinya ditahbiskan sebagai presiden ke-4, “hari ini Indonesia telah memperoleh kemerdekaanya yang ke-2”. Sejak saat ini, demokarasi Indonesia memulai babak baru. Demokrasi Indonesia semakin disempurnakan dengan sistem pemilihan umum (pemilu) secara langsung dan implementasi undang-undang otonomi dearah. Dengan kebijakan ini, proses demokratisasi di tanah air terasa semakin baik.

Demokrasi nasional akan semakin baik, matang dan mapan jika didukung oleh demokrasi di tingkat pemerintahan daerah (demokrasi lokal). Demokrasi lokal sangat penting untuk membentuk kesadaran demokrasi nasional sekaligus mempercepat vitalitas demokrasi nasional. Menurut Brian C. Smith (Kacung Marijan, 2007:2) demokrasi lokal merupakan syarat bagi terciptanya demokrasi nasional. Dalam studinya di beberapa negara, Smith memberikan beberapa alasan; pertama, demokrasi pemeritahan di dearah merupakan ajang merupakan suatu ajang pendidikan politik bagi warga negara di dalam suatu masyarakat yang demokratis (free societies). Kedua, pemeritah daerah dianggap sebagai pengontrol bagi perilaku pemerith pusat yang berlebihan dan kecenderungan anti-demokratis dalam suatu pemerintahan yang sentrlistis. Ketiga, demokrasi di daerah dianggap mampu menyuguhkan kualitas partisipasi yang lebih baik dibandingkan kalau terjadi di tingkat nasional. Keempat, legitimasi pemerintah pusat akan mengalami penguatan manakala pemeritah pusat melakukan reformasi di tingkat lokal. Melihat alasan ini, adalah penting meningkatkan demokratisasi demokrasi lokal.

Namun, proses demokratisasi di tingkat lokal tidaklah mudah. Dalam konteks lokal, demokrasi sering terjebak dalam aksi anarkis. Aksi anarkis mengatasnamakan kebebasan. Sementara itu, relasi kekuasan yang tradisional-patrimonial semakin mempersulit proses demokratisasi. Tetapi kekuatan konsep demokrasi terus bergerak mendobrak kekuatan-kekuatan tradional-patrimonial tersebut. Sebab sejatinya, demokrasi bukanlah sesuatu yang taken for granted. Demokrasi membutuhkan usaha riil dari setiap komponen demokrasi, civil society dan penyelenggara negara. Usaha tersebut sangat terkait dengan perilaku  demokrasi yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi sehingga kultur demokrasi semakin embodied di masyarakat. Prinsip demokrasi tersebut adalah kebebasaan, persamaan, keadilan, dan taat hukum.

Dalam prakteknya, konflik-konflik selalu menjadi ekses perjalan demokrasi lokal. Konflik sering kali muncul karena tubrukan kepentingan elite-elite lokal yang kemudian memobilisasi masa. Dalam teori the rulling class dan sirkulasi elite, Vilfredo Pareto dan Gaetona Mosca mengatakan bahwa ada sekelompok minoritas (elite) yang selalu menguasai mayoritas. Pareto menggunakan terminologi “the lions”  dan “the foxs” untuk menganalogi konflik elite yang senantiasa akan selalu terjadi. Akibatnya, “perang” sesama masyarkat pun terjadi. Kondisi ini terjadi karena watak aristokrasi masih saja melengket dalam perjalan demokrasi lokal. Untuk menghindari konflik tersebut, demokrasi lokal harus diberi “gizi” dan perawatan yang memandai. Pendidikan politik kepada masyarakat adalah sejenis asupan gizi untuk memupuk kedewasaan politik. Kedewasaan politik  merupakan prakondisi bagi masyarkat demokratis. Semua organ yang terlibat dalam gerakan pro-demokasi diharapkan turut terlibat dalam proses pendidikan ini.

Kedewasaan politik masyarkat menjadi unsur penting dalam legitimasi emerintahan demokratis. Di sini, masyarakat tidak saja bebas mengekspresikan aspirasi mereka dalam ranah publik tetapi  juga be heard. Being heard means that the citizens not only enjoy the right to vioce their views, but that they accept the duty to listen and to respond to vioces other than their own. Inilah ciri masyarakat demokratis (democratic citizen). Democratic citizens need to participate in the give-and–take of the making decisions that effect their lives.

Sementara itu, konsep demokrasi tidak berhenti pada momen pemilihan umum atau pemilukada (pemilihan umum kepada daerah). Inilah Schumpeterian electoral democracy dimana Joseph Scumpeter mendefinisikan “democracy as a system “for arriving  at political decision in which individual acquire the power to decide by means of competitive strugle for the people’s vote” (Robert A. Dahl, et al, 2003:31) . Pemilukada hanyalah titik permulaan demokrasi dalam perjalanan panjang menuju kehidupana masyarakat yang lebih sejahtera. Sebagat alat, demokrasi tetap digunakan dalam ranah kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Demokrasi sangat penting untuk menjaga konektivitas pemerintah lokal yang legitim dan masyarakatnya. Dalam setiap kebijakannya, pemerintah harus melibatkan masyarakat sehingga momen pemilukada bukanlah sebuah cek kosong bagi masyarakat konstituen. Inilah yang disebut deliberative democracy. Penjelasan epistemologisnya, democratic deliberation is in general the most reliable democratic prosedure  in order to identify which are the right political decisions, and therefore it is the best method to make political decisions (José Luis Martí, 2005:9). Itu berarti, komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat dalam setiap kebijakan politik perlu dipertimbangkan demi menghasilkan kebijakan yang populis.

Demokrasi pun tidak berhenti pada pemaknaan secara politis.  Alex de Toxqueville melihat demokrasi memiliki makna di luar politik. Makna tersebut adalah kesederajatan kondisi sosial dan ekonomi yang berkesinambungan dengan spirit egelitarian dan keinginan untuk bebas. Munculnya perkumpulan-perkumpulan adalah wujud nyata dari spirit egalitarian dan pelestarian kesejateraan sehingga terlepas dari agen-agen dominan. Demokrasi juga, menurut Amartya Sen, dapat mengurangi tingkat kemiskinan (poverty) dalam masyarat. Dalam banyak studi tentang demokrasi, terdapat relasi resiprokal antara demokrasi dan tingkat kesejahteraan. Selain kehadiran demokrasi dapat meningkatkan taraf  kesejahteraan, tarat kesejateraan dapat menaikan tingkat kesadaran demokrasi dalam masyarat. Relasi kausalitas ini terjadi secara tidak langsung (indirectly)sebab proses ini melibatkan instrumen tingkat pendidikan dan kesadaran berorganisasi dalam masyarakat yang sudah sejahtera. Di samping itu, dengan demokrasi, masyarakat dapat mengontrol kebijakan pemerintah dalam “memproduksi” public goods untuk kesejahteraan masyarakat.

Dengan melihat urgensi demokrasi dalam dinamika kehidupan politik, ekonomi dan sosial di tingkat lokal, diperlukan demokratisasi demokrasi. Tujuannya adalah menghindar dari demokrasi yang fragile sehingga tidak jatuh pada pemerintahan yang otokratik. Masyarakat dan semua komponen pro-demokrasi diharapkan bekerja sama dengan organ pemerintahan untuk membangun iklim yang demokratis demi mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat lokal.

Djogja, 03 September 2010
Alfred Tuname

Komentar