Ulang Tahun: Sebuah Refleksi


“Schrijf op alle watervlakken:
Ik ontmoet mijn ziel,
Toch is hij het die mij in bezit heeft”

-Sitor Situmorang, “Hij Komt Thuis de Verloren Zoon

Siapa yang pernah tahu kita pernah di surga? Lalu terkurung dalam rahim ibu selama sembilan bulan dan menangis memasuki dunia. Yang ada cuma keyakinan bahwa surga menghadirkan kita di bumi. Proses mengada di dunia dinikmati dalam durasi waktu yang tidak kunjung diketahui. Hidup pun diarahkan pada suatu ketidakpastian akan ke surga lagi. Setiap orang hanya berharap untuk kembali ke berada di sana. Bersatu bersama Penciptanya. Sebab singkatnya waktu mengada, hidup pun terkesan hanya mampir ngombe.

Jika hidup adalah sebuah perjalan menuju keabadian, maka jejak pertama adalah penantian. Penantian sebuah pasangan yang bukan lagi dua akan momen kelahiran. Kelahiran ditandai dengan teriakan dan air mata manusia berfisik mungil dan senyum girang orang-orang yang menatinya. Pasangan pun kelak disebut orang tua. Mereka adalah ayah dan ibu bagi si anak yang lahir. Anak itu pun bukan milik orang tuanya, tapi milik kehidupannya sendiri. Perjalanan hidup pun telah dimulai dan akan selalu sedang berjalan.

Perjalanan terisi dengan melibatkan diri pada setiap tingkatan masa yang pasti ditapaki. Masa kecil, remaja, dewasa dan tua. Setiap tingkatan punya baju ujinya sendiri. Batu uji terkemas dalam setiap tantangan dan rintangan yang terbentuk dari setiap peristiwa. Peristiwa hidup. Hidup pun menjadi sebuah perjuangan melepas keterbatasan-keterbatasan insani. Vita est militia. Hadiah menggantung bebas di rentang peristiwa itu. Ada kebahagian dan suka cita. Ada duka dan kecemasan. Ada kritikan dan pujian. Ada kesuksesan dan ketundaannya.

Perjalanan lambat laun menyadarkan manusia akan eksistensi hidupnya. Setiap kisah menjadi capaian-capaian sadar untuk menjangkau tangan Sang Ilahi. Tujuan hidup pun adalah menuju suatu sumber utama, Sang Ilahi. Ia ada di sekitar rutinitas kehidupan dan termanifestasi dalam setiap tumpukan pengalaman manusia. Ia imanen dan transenden. Perjuangan hidup pun tidak mesti melepaskan kemanusiaannya, atau merentangkan jarak pada dunia dan segala isinya. Hidup hanyalah mengambil berkas-berkas kebaikan dan keindahan di dalamnya. Dengan demikian, insan akan melihat ketercerahan di balik ketersemberawutan, kebahagiaan yang mencuat di lembah deritanya. Tuhan pun hadir di setiap kumpulan-kumpulan nilai yang tercebur bersama kisah manusia di rentang perjalanan waktu.

Jutaan benih hikmah sudah ditaburkan di taman kehidupan. Kesadaran menjadi kunci untuk menumbuhkan benih yang belum tampak. Perjalanan yang simpang siur kadang membungkukkan kesadaran itu. Beban dan kerikil hidup membuat perjalan menjadi patah arang. Harapan tersedot sikap pesimis. Doa menjadi keluh dan korosi. Itulah sejatinya mansia. Sering menjadi terasing dan menjadi anak yang hilang. Kehilangan bentuk dan hidup hambar menenggelamkan manusia di kedalaman yang beku. Hari-hari seolah realitas kosong. Spiritualitas menjadi lapuk dari pigmen yang menghiasi kehidupan.

Namun, hidup bukanlah perjalanan yang merunduk. Ia senantiasa menengadah ke langit. Hidup pun bukan perjalanan sendirian. Suara langit senantiasa berteriak di hati insan mikro kosmos. Ia menyalakan lagi api jiwa yang suam-suam. Ada pun uluran tangan-tangan yang selalu mengajak untuk terus bangkit berjalan dan berjalan bersama. Kejatuhan mencubit rasa kemanusiaan. Kebaikan muncul dari rasa ini. Kebaikan pun diterjemahkan dalam ketulusan yang bersemayan di balik tangan yang membantu. Dan Sang Ilahi menyelinap di atas uluran tangan itu. Inilah oasis kehidupan.

Ulang tahun menjadi momen syukur atas oasis kehidupan ini. Ada banyak kisah yang menjadi jejak ditinggal usia. Bekas dalam jejak itu menandakan ada rahmat di keberlangsungan hidup. Rahmat itu teriduksi dalam setiap sentuhan-sentuhan kemanusiaan manusia. Momen ulang tahun juga adalah lembar putih untuk menulis harapan akan hidup yang lebih baik menuju perpetuasi jiwa. Jiwa yang rindu pada cahaya Sang Ilahi. Syukur dan harapan adalah kalimat abadi yang mampu menyentuh sumber keabadian. Kalimat itu adalah doa. Doa pun seperti dayung yang bisa membuat kita bergerak maju menghadap gelombang merintang di luasnya samudera kehidupan.

Sebab ulang tahun ini, doa dilambungkan kepada Sang Keabadian, Ia yang lebih dekat dari nadi tubuh, atas segala berkat-Nya dan rahmat kehidupan. Rahmat-Nya mengalir dalam kasih orang tua dan adik-adik serta semua keluarga; dalam kehangatan dan keakraban teman-teman, para guru dan orang-orang yang baru kujumpai, serta; dalam setiap nyanyian alam.


Jogja, 20 Agustus 2010
Alfred Tuname

Komentar