“Basis yang kukuh pemerintahan adalah keadilan,
bukan belas kasihan”
-Woodrow Wilson, mantan presiden AS
“Justice as a virtue”
-Aristotle
Momentum refomasi tahun 1998 adalah momen politis yang telah mengantarkan bangsa memasuki gerbang kehidupan bangsa yang lebih baik. Teleologi reformasi adalah mewujudkan kehidupan berbangsa yang adil dan sejartera. Sejak itu, genderang perang terhadap ketidakadilan dan kemiskinan dibunyikan. Setiap organ pun memasang kuda-kuda untuk masuk ke medan perang. Hukum sebagai perangkat perang disiapkan. Hukum pun bukan sebagai perangkat kekerasan tetapi sebagai penjinak kekarasan. Hukum sebagai alat akan berfungsi jika digunakan secara murni dan konsekuan.
Sementara orde reformasi itu berjalan, realitas sosial belum menunjukan pencapaian kehidupan yang adil dan sejahtera. Kanalisasi reformasi justru terbagi dalam multi kepentingan. Reformasi pun mengantarkan bangsa ini ke gerbang disparitas sosial yang terjal. Disparitas terjadi akibat gonjang-ganjing elite kekuasaan, “pengurus” negara yang melakukan negosiasi dan kompromi buruk dengan aktor-aktor “gemuk” ekonomi. Jalan korupsi, kolusi dan nepotisme (three ways) dipakai untuk menguasai sumber-sumber kekayaan negara ini. Berdasarkan data, Kwik Kian Gie pernah mencium simpton kebusukan kelompok ini dengan sebuah pernyataan “the vested interest groups, sometimes working together with foreign interest, have been roobing Indonesia of its natural riches”.
Lalu ubi ius est? Gempuran globalisasi yang kental dengan logika pasar telah mengubah wajah Indonesia. Dalam kekuasaan, penguasa politik telah mandul dibandingkan dengan kekuasaan pasar. De facto, pemilik modal ekonomi lebih berkuasa dari pada pejabat pemerintahan. Gertakan politis pun mulai menciut. Benteng hukum mulai roboh dan berlubang setelah hantaman tsunami globalisasi ekonomi. Dan hukum pun mudah diutak-atik sesuai keinginan kelompok-kelompok kepetingan. Di sini, produk hukum menjamin kepentingan pemilik modal. Kasus Bank Century adalah contoh nyata akan loyo dan rapuhnya hukum. Hukum jelas-jelas tidak berdaya menghadapi kelompok-kelompok elite yang berkepentingan dengan persoalan ini. Sementara itu ribuan nasabah terus berteriak menuntut haknya dan triliunan uang negara diselewengkan. Lucunya, dewan terhormat melakukan lakon teatrikal dalam reality show kasus Bank Century. Akrobat politik ini hendak berakhir dengan diusulkan kasus ini ditutup.
Belum lama berselang, negara melakukan “teror” terhadap warga negaranya. Kebijakan konversi gas telah menimbulkan ledakan korban dalam masayarakat. Pada dasarnya, kebijakan konversi gas merupakan kebijakan populis. Dengan kebijkan ini, warga negara dapat menikmati secara langsung kekayaan gas alam sekaligus mengurangi beban anggaran negara. Inilah idealitas kebijakan konversi gas. Tetapi ini sangat berbeda pada tataran implementasinya. Praktek monopoli dan minimnya koordinasi antara lembaga terkait menimbulkan kesan salah urus. Malpraktek ini bertendensi bahwa pemerintah sebenarnya tidak serius mengusahakan penciptaan kesejahteraan masyarakat tetapi justru melihatnya sebagai proyek. Pemerintah pun terjebak dalam rasionalitas pasar di mana ia bertindak dalam kalkulasi yang relatif matang dalam paradigma untung dan rugi. Hasil jebakannya, masyarakat kecil pun jadi korban terbakar dan nyawa melayang. Good will dan political will pemerintah sepertinya mengada-ada. Seharusnya, kebijakan ini ditangani secara serius sejak perencanaanya hingga pelaksanaanya. Kebijakan ini tidak bisa dijalankan setengah-setengah. Kebijakan konversi gas, dengan menggunakan istilah Hadi Susastro, “is like pregnancy, it can not go half-way”. Kita pun seperti tinggal di negara yang tertimbun irony, seperti tikus yang mati di lumpung padi.
Keadilan pun terntuduk layu. Ia tinggal sebatang kara. Ia telah ditinggalkan oleh lembaga hukum, partai politik, dewan terhormat dan pemerintah. Negara telah melupakannya. Hukum tidak belum memanggul keadilan. Hukum hanya secarik kertas dengan formalitas paslu. Hukum hanya berhenti pada lex dan parkinson terhadap ius. Partai politik hanyalan sejenis jamur yang subur di musim pemilu. Dewan terhormat sebagai lembaga politik telah mandul dan berkhianat terhadap masyarakat atas tindak kesewenangan negara. Pemeritah pun menjadi pelayan para pemilik modal. Pemerintah berbelas kasihan terhadap pemilik modal, kekuatan ekonomi domestik dan asing. Bukankah pemerintahan itu ada lantaran janji keadilannya? John Rawls mensyaratkan keadilan pada jaminan akan hak-hak asasi manusia. Pemerintahan sebagai penyelenggara negara harus menjamin hak-hak asasi warga negaranya. Jika justru tidak, negara akan dianggap gagal. Di sini negara sepertinya dingin terhadap warganya dan negara memabalut banyak kepentingannya. Seperti kata Nietzshe: negara adalah yang paling dingin dari segala monster yang dingin. Ia juga berdusta dengan dinginnya; dan dusta ini juga membual dari mulutnya: aku, negara, adalah rakyat.
Lalu, sementara kebanyakan rakyat Indonesia mengerang atas inflasi, sampai kapan dusta negara ini berhenti??
Jogja, 01 Agustus 2010
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar