Setelah sensus penduduk tahun 2010, penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah circa 234,2 juta jiwa. Dengan jumlah yang membludak tersebut masyarakat petani menempati top ranking dalam jejeran golongan masyarakat Indonesia. Terlepas dari sistem perataniannya masih tradisional atau tidak, rakyat Indonesia pun dikategorikan sebagai masyarakat agraris. Uniknya, sektor pertanian malah menjadi anak tiri dalam keluarga pertiwi. Para petani selalu mengeluh soal distribusi dan harga pupuk yang meroket. Irigasi pun hanya dijadikan “proyek” gagah-gagahan dimana fungsi dan kualitasnya jauh dari harapan. Belum lagi gempuran budaya leisure class yang congkak menyulap lahan pertanian menjadi tempat bermain dan hiburan. Memang manusia butuh hiburan, tetapi bagaimana dengan kebanyakan orang yang masi butuh makan. Seiring layangan humanis, pertanyaan wajib pun mencul: dimana letak keadilan itu? Suatu parodie kejam pun nampak ketika melihat petani kita justru makan beras impor. Di sini, petani menjadi sosok miskin yang lapar sesuap nasi dan orang kaya lapar sesuap berlian.
Indonesia yang gemah ripah loh jinawi ternyata hanyalah dongeng usang yang tak layak lagi didengungkan. “Tongkat” pun tak mampu menjadi tanaman. Ia justru melempem dan kering. “Kolam susu” sudah menjadi rawa dan tercemar limbang indutri dan minyak mentah. Akal-akalan supply persedian nasional, beras, bawang, sapi, gula pun diimpor. Ternyata semuanya tidak lain dari pada proyek yang sangat dekat dengan penyalahgunaan (abuse) anggaran sebagai anak kandung korupsi. Mental kebijakan pun menjadi sangat pragmatis dan instan. Penyediaan dan pengelolaan sarana dan prasarana yang menunjang sektor pertanian pertanian dikerjakan dengan sangat koruptis. Escalating rate of unemployment pun semakin fantastis. Masyarat petani ramai-ramai menyerang kehidupan urban pada hal Indonesia pun masih belum berubah dari negara agraris menjadi industrialis, masi negara dunia ketiga (setengah).
Kebijakan terkait energi pun semakin aneh. Harga bahan bakar minyak (BBM) mulai dinaikan. Tarif dasar listrik naik. Alasan yang dipakai adalah subsidi telah membebani anggaran negara dan harganya paling murah di seluruh Asia. Alasan ini pun terkesan dibuat-dibuat dan kekanak-kanakan. Pemerintah merasa terjadi defisit anggaran sebab dengan adanya subsidi berarti negara telah menanggung beban harga hanya karena harganya tidak sama dengan negara-negara Asia lainnya. Itu Sebuah logika ekonomi yang aneh. Sebab sesungguhnya tidak ada uang yang keluar. Pemerintah juga mendapatkan keuntungan yang besar meski harganya tidak dinaikan Ekonom Kwi Kian Gie mengatakan bahwa dalam kenyataanya pemerintah mendapatkan keuangan lebih. Hanya, kelebihannya tidak sebesar seandainya rakyat Indonesia diharuskan membeli bensin (BBM) produksi dalam negeri dengan harga dunia. Rakyat pun semakin dibodohi oleh pemerintahannya sendiri. Rakyat pun semakin berkubang dengan kemiskinan dan kesengaraan akibat naiknya harga BBM yang multiplier effect dan efek dominonya sangat fantastis. Inflasi pun merebak. Betapa rakusnya pemerintah kita. Entah demi kepentingan apa dan siapa, rakyat pun dikorbankan. Benarlah apa yang diramalkan oleh Soekarno, “perjuanganku lebih mudah dibanding perjuanganmu. Aku melawan penjajahan asing, sementara engkau harus melawan penjajahan bangsamu sendiri”.
Sumber energi kita sangat banyak. Energi migas maupun non migas. Dan pemerintah lebih senang mengurusi minyak dari pada gas, batubara, panas bumi, energi baru dan terbarukan. Sialnya, menurut Kwi Kian Gie, “90 persen energi minyak kita disedot oleh kontrakan asing dengan sistem pembagian yang sangat rumit”. Sebuah praduga, bahwa mungkin “kebocoran” minyak lebih banyak menguntungkan dan mendapat keuntungan dari minyak yang “menguap”. Lebih parah lagi, hidden agenda dalam perselingkuhan pemerintah dengan agen-agen neoliberal sehingga merusak tatanan kehidupan ekonomi Indonesia. Lalu bagaimana mungkin, Exxon Mobil, Unicol, Caltex dan lain sebagainya ingin mendirikan SPBU di negara ini??? Bukankah minyak yang mereka dagangkan adalah milik bangsa ini? Sebuah Ironi. Pemerintah pun telah melakukan “subversi” terhadap negaranya sendiri. Sebuah kanibalisme. Pemerintah sebagai penyelenggara negara melanggar undang-undangnya sendiri, UUD 45.
Penyelengaaraan negara pun menjadi salah urus. Tesis ini bergelembung dalam pertanyaan ironis, mana mungkin di negara yang kaya sumber daya alamanya, masyarakatnya justru menderita kemiskinanan. sebuah paradox of plenty. Argumentum generalis Pramudya Anata Toer mendeskripsi bahwa kesalahan berasal dari otak sementara keliru adalah pelaksanaan teknis. Ini berarti bahwa pemerintah tidak punya otak untuk mengurus negara ini. Di sisi lain, otaknya sudah terbebani oleh beban kepentingan gigantic. Dan hasilnya bukan nation victory but family and crony victory. Lalu ramai-ramai pejabat negara tercelup dalam sikap pontiuspilatism, buruk muka cermin dibelah pertanyaan yang muncul dijawab dengan “on the other hand, but on the other hand...”.
Sementara pejabat terus bernyanyi, rakyat pun terus menderita. Perubahan yang diharapkan terhenti pada loakan bualan kata kampaye. Kesengsaraan lima tahun diganti dengan kemelaratan tahun berikutnya. Kesejahteraan ternyata sama dengan sematik imaginer sebab maknanya hanya nyata bagi mereka duduk di kursi pemerintahan. Teks-teks ekonomi yang menjelaskan kesejahteraan masyarakat sebagai tercapainya sustainibilitas kepenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat ternyata sudah mengalami af’schaffen (penghapusan). Prof. Joseph Stiglizt, pemenang Nobel Ekonomi 2001, dalam sebuah cerama di Jakarta berkata: “textbook economics may be fine for teaching stundents, but not for advising government..”. Dan pemerintahan kita semakin senang bermain di air yang kerung dan kotor. Sebab dengan demikian, perutnya semakin gemuk. Negara pun seperti ikan lele dan kolamnya. Kata sahabatku di Hawai, “kalau bukan begitu, bukan Indonesia namanya”. Heeem..., seperti identitas lele, kalau bukan begitu, bukan lele namanya. Tapi banyak orang pun masih berharap dan optimis, lele bisa metamorfosis menjadi kerapu di laut. Dum spero, spiro! Entalah sampai kapan.
Djojga, 14 juli 2010
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar