“...mau tahu ga mafia di senyan
Kerjaannya tukang buat peraturan
Bikin ‘uud’, ujung-ujungnya duit...”
Slank-“Gossip Jalanan”
Seperti biasa, negara kita sedang terjadi pementasan theater membuat geli para penontonnya. Theater itu sedang dimainkan oleh aktor-aktor yang pernah digemari oleh penonton. Aktor-aktor itu terpilih dalam suatu audisi akbar yang sering disebut pesta demokrasi. Namanya juga aktor, mereka pasti bisa memerankan apa saja. Tentu sesuai dengan kontrak dan bayaran. Aktor adalah “some persons will go to the stage and only they will be able to act”. Dan sekarang, aktor-aktor itu sedang memainkan peran bahwa mereka seolah-olah mewakili penonton (rakyat). Aktor-aktor tersebut mementaskan teater akbarnya di gedung opera terhormat yang sering disebut gedung DPR RI (Senayan).
Theater adalah tempat orang dapat berekspresi dengan bebas. Ekrspresi tersebut seturut alur skenario yang telah dirancang. Theater was the people singing freely in the open air; the theatrical performace was created by and for the people, and could be called dithyrambic song (Augusto Boal, 1985). Pertunjukan theatrikal di gendung dewan terhormat (DPR RI) di-design oleh para aktornya dan demi aktor itu sendiri. Pertunjukan itu tidak bertujuan untuk mentransformasi pesan atau nilai sebagai mana tujuan theater pada umumnya. Theater tersebut semata hanya menumpuk “ejakulasi” para aktor itu sendiri. Dan “the rest will remain seated, receiptive, passive-these will be the spectators, the masses, the people”.
Sejak Orde Baru hingga reformasi bergulir di tanah air, pola theaternya cenderung sama. Karakter aktor mencirikan perilaku yang unik dan khas pada anak-anak. Perilaku anak-anak yang melekat pada aktor itu terlacak dalam citra diri yang belum bernalar rasional-substantif Weberian (substantive rationalitiy yakni nalar yang secara langsung mengatur tindakan menjadi pola melalui sekumpulan nilai-nilai) dan filosofis. “Proses beretika-memilih dan memahami tentang kepatutan secara moral- dalam dirinya masih belum berjalan baik dan utuh” (Islah Gusmian, 2004). Di sinilah, anak biasa menuntut kepentingan sendiri dan cenderung otoriter (menang sendiri). Dalam interaksinya, anak sering menganggap dirinya serba benar, super dan hero. Anak jarang mau mengakui kesalahanya dan sering melempar tanggung jawab. Dalam kamus psikologi anak, perilaku seperti ini disebut “prolonged infantilism” Atas dasar perilaku ini, dengan berani Gus Dur (almarhum Abdurahman Wahid) mengatakan anggota DPR sebagai anak TK (taman kanak-kanak). Setidaknya pernyataan itu wajar dan mendekati kebenarannya. Sebuah pepatah Amerika bisa menjelaskan ini. “if it looks like a duck, walks like a duck, and talks like a duck, it is a duck”. Anggota dewan kita yang terhormat terlihat seperti anak-anak, “menjalankan” kebijakan seperti anak-anak, “berbicara” seperti anak-anak. Itu berarti mereka anak-anak. Anak-anak dalam Taman Kanak-Kanak (TKK).
Perilaku prolonged infantilisme aktor dalam theater Senayan terlacak dalam putusan-putusan politik yang syarat kepentingan. Demi vested interest individu dan kroni, politikus menciptakan putusan yang sangat yang tidak populis dan tidak merepresenstaikan kehendak rakyatnya. Rakyat hanya dilihat sebagai “the spectator” yang pasif. Politikus Senayan menuntut dana rakyat tetapi belum menunjukan prestasi yang utmost untuk membela rakyat. De facto, politikus miskin hati ini sudah menghabiskan dana APBN Rp 10,06 triliun padahal belum satu tahun bekerja, dana pelantikan DPR sebasar Rp 28, 5 miliar, renovasi rumah dinas anggota dewan Rp 300 miliar, jatah tinggal sementara rumah direnovasi Rp 84 miliar, pengadaan komputer Rp 18,03 miliar, bantuan parpor Rp 8,6 miliar, gaji et cetera 31,024 miliar dan yang paling irasional lagi adalah renovasi gedung “theater” yang dianggap miring Rp 1,2 triliun dan dana aspirasi. Lalu marilah kita melihat theater kasus Century syarat intrik politis dan kepentingan. Sementara ini, kasus Century masih saja belum jelas penyelesaiannya. Dan banyak putusan-putusan lain produk gedung theater mencitrakan prolonged infantilism.
Aktor-aktor politikus Senayan sudah jelas tidak membela kepentingan rakyat yang sudah memilihnya. Rakyat jelas tidak mengharapkan “uang” yang tunai sebagai imbalan atas pilihannya. Rakyat hanya menginginkan aspirasinya akan kehidupan masyarakat yang adil diperhatikan. Produk-produk lagislatif yang diharapkan adalah suguhan-suguhan yang mencermikan hati rakyat yang mendambakan keadilan. Keadilan itu simultan dengan jaminan hak-hak politik, ekonomi dan sosial-budaya dalam kehidupan bernegara. Rupa-rupanya, janji-janji politik anggota legislatif berlaku seperti tembang kenangan. Masing-masing anggota legislatif lebih memihak pada kelompok (koalisi) dan/atau “sanggar” politik dari mana mereka berasal. Ada yang melekat pada (comfort zone) kekuasan dan governing party dan yang mengambil posisi oposisi. Fatwa-fatwa politik elite-elite partai dianggap sebagai “sabda pandito ratu” yang harus diikuti secara fanatik. Sementara, partai politik adalah kubangan elite dengan sindrom kekuasaan. Mengingat, partai politik sendiri tidak berbeda jauh dengan sanggar-sanggar yang mencitpakan aktor-aktor theater, partai politik pun tidak dekat dengan pelayanan masyarakat kecuali jelang pemilu/pemilukada. Seharusnya, loyalitas tertinggi anggota dewan terhormat adalah rakyatnya bukan kepada sanggarnya. Anggota dewan perlu meresapi kata-kata keramat yang pernah dinyanyikan oleh Presiden Manuel L. Quezon (Filipina), yakni “my loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins”. Tetapi yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Dan “aktor-aktor” politikus ini Senayan seperti dalam bahasa Belanda “als een kip zonder kop”. Seperti ayam tanpa kepala. Mereka tidak berpijak pada pilihan rasionalnya sendiri sebab sudah disunat oleh partai sementara buntutnya pegang oleh elite-elite partai. Dan Lagi-lagi rakyat hanyalah “the rest will remain seated, receiptive, passive”.
Teriakan Slank dalam “Gossip Jalanan” adalah wujud rasa muak rakyat terhadap praktek mafia di Senayan yang gemar bertheater yang berujung pada kepentingan sendiri dan uang (duit). Atau jangan-jangan DPR adalah “dewan pemeras rakyat” Kemuakan rakyat belum selesai dalam satu theater of “UUD” (ujung-ujungnya duit), theater berikutnya mulai dipentaskan lagi. Entah sampai kapan theater of tragedy ini berhenti. Harapannya anggota legislatif mulai tumbuh dewasa dan peka terhadap penderitaan rakyatnya. Jika tidak, betapa kacau-balaunya negeri ini. Wassalam!!
Djogja, 10 Mei 2010
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar