“Ayat-Ayat” Ekonomi Indonesia


Sederhananya, etimologi terminologi ekonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu oikonomos yang berarti pengelolaan rumah tangga. Terminologi ini telah tertanam dalam benak setiap orang sejak pertama kali belajar ilmu ekonomi. Seturut alur pikir ekonomi, lekatan unsur “pengelolaan” menghadirkan kriteria-kriteria yang mengakomodasi kepentingan homo economicus. Dalam tarikan historisnya, idiom oikonomein tidak saja digunakan dalam pengertian sempit “pengelolaan rumah tangga” tetapi juga menyangkut pengelolaan negara kota (polis), suatu bentuk tata negara Yunani. Maka dari itu, political economy berkembang dari Yunani hingga dewasa ini (George Soule, 1994).

Indonesia menggunakan sistem ekonomi Pancasila untuk mengelola “rumah tangga” negara. Pasal 33 UUD 1945 menjadi pilar yuridis legal praktek sistem ekonomi. Dalam pasal 33 UUD 1945 tercantum dasar ekonomi demokrasi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan dan penilikan anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang (Ichsanuddin Noorsy, 2009). Konsep ini merupakan merupakan visi kerakyataan dari dasar negara Pancasila dalam sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan runutan tersebut, bangsa kita menganut sistem ekonomi Pancasila dengan konkretisasi pada ekonomi kerakyatan. Dalam penghayatan dan pengamalannya, Ekonomi Pancasila dikelola secara demokratis dengan merujuk pada terjemahan eksplisit UUD 1945.



Dalam pembacaan yang membingungkan (unsure of direction), “pujangga” ekonomi tanah air berusaha memberi arti dalam deteksi sistem ekonomi Indonesia dengan permainan terminologis yang berjalan dialektis. Dan muncullah terminologi ekonomi Pancasila, ekonomi kerakyatan, ekonomi pasar sosial, ekonomi kekeluargaan, demokrasi ekonomi, ekonomi konstitusi 1945, et cetera. Dalam perkembangannya, frekuensi terminologi ekonomi kerakyatan paling banyak muncul. Tetapi literatur ekonomi tidak penah mengulas tentang ekonomi kerakyatan. Pengamat ekonomi, Marsuki, menulis “defenisi ekonomi kerakyatan sangat sulit dijelaskan secara defenitif sebab alur pikir ideologinya hanya bersumber dari undang-undang dasar suatu negara yang abstrak”. Sekali pun dialektika terminologi sistem ekonomi Indonesia terus berkembang, negara tetap harus menjamin bahwa tujuan sistem ekonomi Indonesia adalah pengelolaan rumah tangga ekonomi Indonesia diarahkan pada kemakmuran dan kesejahteraan semua warga negaranya. Seperti dalam pidato 1 Juni 1945 yang melahirkan Pancasila, presiden Soekarno mengatakan bahwa “jika kita benar-benar mengerti, mengingat dan mencintai rakyat, marilah kita terima prinsip persamaan politik dan di lapangan ekonomi pun kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya”. Dengan demikian, semua warga negara harus terlibat berpartisipasi dan menikmati hasil produksi nasional. Sejak terbentuknya negara ini, Soepomo sudah mengingatkan bahawa “negara tidak memihak kepada suatu golongan yang paling kuat atau paling besar, tidak menganggap kepentingan seseorang menjadi pusat, akan tetapi negara menjamin keselamatan hidup bangsa dan negara seluruhnya sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan”.

Jika disepakati (dalam tulisan ini), terminologi demokrasi ekonomi digunakan sebagai sistem ekonomi Indonesia. Demokrasi di sini mengacu pada istilah Soekarno dan Hatta yakni sosio demokrasi. Artinya demokrasi yang memberikan rasa adil dan sejahtera pada semua warga negara bukan demokrasi yang hanya membebaskan (demokrasi liberal) (Benget Silitonga, 2009). Keadilan dan kesejahteraan merupakan tujuan manusia yang merdeka. Setiap orang berjuang untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan dalam kualitas hidupnya. Dan perjuangan itu tidak hanya sekadar pada tataran politik tetapi juga ekonomi. Dan “Indonesia belum merdeka jika hanya dengan demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi” demikian jelas Bung Hatta (Moehamad Hatta). Setelah reformasi 1998, perjalanan demokrasi politik Indonesia cukup membanggakan. Sinergi deliberasi publik dan pemerintahan sangat membantu dalam timbangan kebijakan negara untuk menjamin hak-hak dasar warga negara (demokrasi substansial). Demokrasi merupakan conditio sine qua non bagi pertumbuhan ekonomi. Ekonom India peraih Nobel 1998, Amartya Sen, membuat tesis bahwa ekonomi membutuhkan demokrasi. Di Indonesia, predikat demokrasi yang “cum laude” tidak serta-merta membawa perubahan dalam perbaikan ekonomi warga negara. Perkembangan demokrasi politik yang spektakuler hanya melahirkan kesenjangan ekonomi di antara warga negara. Kebijakan-kebijakan politik pun hanya menjamin kepentingan-kepentingan ekonomi kelas-kelas atas (konglomerat/kartel) dan tidak memproteksi warga negara dari kepentingan ekonomi asing. Kondisi ini memberitakan bahwa terjadi salah urus dalam praktek ekonomi Indonesia.

Demokrasi ekonomi Indonesia dengan platform Pancasila dan UUD 1945 ternyata tidak tersentuh setiap kebijakan pemerintah. Nilai dan prinsip moral ekonomi yang diderivasi dari etika dan falsafah Pancasila dan UUD 1945 mulai tenggelam dalam praktek ekonominya. De facto, sistem ekonomi Indonesia berwatak neoliberal. Ekonomi a la neoliberal membuat pemerintah melepas tanggung jawab untuk menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Sebab pada dasarnya, prinsip neoliberal bersumber teori yang dicetuskan oleh Adam Smith “the father of the economics”, dengan bukunya yang berjudul “An inquiry into the nature and the causes of the wealth of nations” pada tahun 1776. Smith mengatakan bahwa apabila manusia dibiarkan mengejar keutungannya sendiri-sendiri tanpa campur tangan sedikit pun oleh pemerintah, masyarakat seluruhnya akan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya (Kwie Kian Gie, 1995). Dengan ini, Smith menciptakan “homo oeconomicus” yang ingin memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecilnya kecil dengan mekanisme “the invisible hands” (campur tangan pemerintah seminimal mungkin) dan pasar dibiarkan bekerja sendiri. Fundamentalisme pasar adalah “supply creates its own demand” dalam bahasa Jean Babtise Say, sebab “the invisible hands” akan menciptakan keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar komoditas maupun di pasar surat-surat berharga (pasar uang maupun pasar modal). Ekonomi Indonesia yang berwatak (a la) neoliberal sekaligus berwajah pseudo-kapitalis dalam kasat mata berdevosi pada Washington Consensus setelah tembok Bretton Woods (ekonomi neoklasik) rubuh. Jelmaan Woshington Consensus nampak pada kebijakan-kebijakan yang merunut pada prinsip neoliberalisme yaitu (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi, (2) liberalisasi sektor keuangan, (3) liberalisasi perdagangan, dan (4) pelaksanaan liberalisasi BUMN (Stiglizt, 2002, dalam Ravrison Baswir, 2005). Dalam literatur ekonomi, neoliberalisme di Indonesia telah menyebabkan penyakit pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan yang semakin akut. Penyakit ini merupakan kegagalan neoliberal. Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy pernah memaparkan bahwa neoliberal telah berhasil memposisikan pengusaha berhadapan dengan rakyat.

Woshington Consensus merongeng di Indonesia dalam bail out policy (penyelamatan dari kesulitan keuangan) Bank Century dari pada membantu kesulitan keuangan UKM (usaha kecil menengah) yang justru bermasalah dan penuh intrik, privatisasi BUMN-BUMN strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak, liberalisasi perdagangan (UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal) dengan tidak melindungi usaha-usaha kecil dalam negeri (yang justru dimiliki oleh mayoritas anak bangsa), eliminasi subsidi di sektor pendidikan (UU BHP), eliminasi subsidi minyak (premium) dan gas (UU No.22/2001 tentang Migas) dengan (pembodohan publik) alasan beban APBN sementara jika ditilik hanya karena pemerintah tidak bisa menjualnya dengan harga internasional, sektor pertanian yang di-anak tirikan, kualias layanan publik yang terbengkelai (misalnya, UU No.20/2002 tentang Kelistrikan), et cetera. Politik geregetan dengan bantuan langsung tunai (BTL) yang hanya deja vu (pengulangan) politik stabilitas tentatif a la orde baru di kalangan grass root, “nyanyian” Sri Mulyani dalam sebuah kuliah umum tentang kartel sedang menguasai kebijakan ekonomi pemerintah sehingga melahirkan “shadow state”, negara dalam bayang-bayang kaum kapitalis, kenaikan tarif dasar listrik (TDL), dan penghapusan subsidi premium bagi kendaraan sepeda motor adalah contoh praktek neoliberal yang paling santer saat ini. Dan masih banyak agenda-agenda neoliberal yang sangat kontra konstitusi. Konsep demokrasi ekonomi dalam platform Pancasila dan UUD 1945 pun menjadi usang dan jamur dalam lembabnya kubangan neoliberal.

Perjuangan untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera dengan kerangka demorasi politik dan demokrasi ekonomi memang tidak mudah. Praktek orthodox capitalism yang mengakar 32 tahun masa orde baru dan neoliberal pasca reformasi cukup kuat mengkrangkengi pola pikir dan alur kebijakan negara. Jebakan-jebakan neoliberal (neoliberal traps) pun semakin menukik dengan gonggongan globalisasi. Hanya kekuatan “daulat rakyat” yang revolusioner “Pancasila-is” dan pemimpin yang berwajah nasionalis saja yang bisa menyelamatkan bangsa ini dari kurungan praktek neolibral. Lagi-lagi political will dan good will pemimpin dan semua lapis bangsa menjadi modal penting bagi perwujudan kesejahteran dan kemakmuran bangsa lepas dari neoliberal. Jalan terbaik adalah kembali pada “ayat-ayat” konstitusi (Pancasila dan UUD 1945) untuk mengatur alur perekonomian bangsa dengan penataan sistem ekonomi Indonesia yang demokratis. Watak “the founding father” yang menolak neolibralisme perlu dijejaki. Jika belum, itu berarti bangsa ini belum belajar dari sejarah. Dan praktek patriotik mewujudkan demokrasi ekonomi pun kian berat. Sejak awal Soekarno pernah berkata “perjuanganku lebih mudah dari pada perjuanganmu sebab hanya melawan penjajah. Tetapi perjuanganmu adalah melawan bangsamu sendiri”. Itu terjadi karena terdapat pengkhianat bangsa yaitu konglomerat (kartel) kapitalis dan koruptor.

Sementara kita berjuang, marilah kita berdoa berjamaah untuk bangsa dan negara ini (ora pro patria). And never give up!!!

Yogyakarta, 30 Mei 2010
Alfred Y. Tuname

Komentar