"The human understanding is of its own nature prone to abstractions and gives a substance and reality to things which are fleeting”
(Francis Bacon)
Kekuasaan dalam banyak hal berkaitan dengan jabatan. Seorang yang memiliki jabatan pasti memiliki kekuasaan. Sementara orang yang memiliki kekuasaan belum tentu memiliki jabatan. Tetapi orang seperti ini memiliki pseudo-jabatan. Atau mungkin jabatan yang tidak kelihatan. Cara kerjanya seperti invisible hand.
Berbicara tentang kekuasaan adalah sesuatu yang sangat sensitif. Di zaman orde baru, orang yang berbicara tentang kekuasaan akan dianggap subversif. Dan aktivitasnya dianggap melawan negara. Pemegang kekuasaan sangat takut pada kuasa yang sedang dipegang. Anggapanya adalah kekuasaan adalah milikinya (l’etat est moi). Kekuasaan menjadi subjektif. Untuk mengamankan kekuasaannya, pos-pos penjagaan panoptik dibangun dimana-mana. Fungsinya adalah untuk mengawasi dan mengontrol setiap akivitas yang merong-rong kekuasaan.
Dalam realitasnya, orang yang memegang kekuasaan tertentu memiliki priviledge dan prestige tertentu. Seorang pejabat dengan kekuasaannya dapat bertindak seturut kuasa yang diembannya. Maka tidak heran orang berlomba-lomba untuk mencapai kekuasaan itu. De facto, orang selalu ingin menjadi pejabat dengan kekuasaanya. Jabatan presiden, bupati, gubernur, anggota legislatif, dan jabatan lain dalam pemerintahan menjadi pilihan yang sangat favorit. Bagi incumbent, kekuasaan (jabatan) harus dipertahankan. Semua strategi dikerahkan untuk mempertahankan “pegangan itu”. Sementara “the climber” melancarkan taktik untuk merebut kemungkinan berkuasa. Dalam kasus pemilukada, pihak yang berkuasa berusaha mempengaruhi KPUD untuk menghentikan calon-calon “penguasa” potensial dengan tidak “goal” tahab verifikasi. Lalu “the climber” yang telah dijegal merespon dengan melakukan “parlemen jalanan” (demonstrasi kadang anarkis seperti bom molotov di Manggarai, Flores, NTT) sebagai aksi membela diri atau protes.
Seorang tokoh poststrukturalis, Michel Foucault mengatakan bahwa “power is not something that is acquired, seized or shared, something one hold on to or slip away”. Kekuasaan itu bukanlah sesuatu milik melainkan strategi. Strategi dipakai oleh penguasa. Taktik digunakan oleh pihak yang ingin merebut kekuasaan. Kekuasaan bersifat relasional. Itu berarti kekuasaan tidak melekat pada pribadi atau institusi tertentu. Power is employed at all levels, and though many dimensions. Seperti anggota DPR/DPRD yang tidak pernah dekat atau menjadi representasi amanat rakyat. Ketika mereka (sepertinya) mengunjungi rakyat tetapi sebenarnya instansi atau kepala daerah yang dikunjungi. Semua itu semata-mata untuk membangun dan membina relasi kuasa sehingga kepentingannya terakomodasi. Dengan demikian, kekuasaan tidak ditilik dari “siapa” (who has power?), “dimana” atau “dalam apa” (where or in what, does power reside?) tetapi “bagaimana” (how of power?) kekuasaan itu dibentuk. Mekanisme kekuasaan terjadi dalam setiap hari kehidupan dalam praktek, teknik dan prosedur. Dalam domain pemerintahaan, kuasa berkerja mulai dari pejabat tinggi hingga pejabat rendah. Dan selain persoalan kuasa, kalkulasi ekonomi rumah tangga juga menjadi tujuan dalam perebutan jabatan. Kadang, justru kalkulasi ekonom yang justru menjadi target utama. Akibatnya, kuasa dipakai untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebasar-besarnya. Aji-ajinya, mumpung masih menjabat. Dari sinilah, penyelahgunaan kekuasaan (abuse of power) itu muncul. Proyek pengadaan mobil dinas yang mewah, laptop super mahal, rehab gedung DPR yang masih layak pakai, pengalihan dana kepegawaian untuk kepentingan kampanye dan lain-lain dengan segala ketimpangan dalam prosesnya adalah contoh penyalahgunaan kuasa yang diperoleh dari jaringan relasi kuasa. Sementara itu, jaringan itu mendapat bagiannya masih-masing.
Itulah kuasa. Kuasa bisa memungkinkan segala sesuatu. Foucault mengatakan bahwa kuasa itu produktif. Dan penolakan terhadap kuasa adalah strategi kuasa itu sendiri. Ketika rakyat berpikir bahwa mereka adalah subjek dalam penyelenggaraan negara, maka rakyat memiliki kuasa untuk melawan kuasa penyelenggara negara yang tidak berpihak pada subyek tersebut. Revolusi Lenin muncul dengan lahirnya kekuasaan tandingan terhadap kekuasaan negara. Lahirnya kekuasaan tandingan bermaksud untuk mengoreksi praktek kekuasaan yang justru merebut dan menihilkan hak-hak warga negaranya. Rakyat perlu berpikir dan bersikap kritis terhadap semua proses kebijakan negara. Sebab dalam kebijakan itu termuat kuasa untuk mencaplok hak-hak rakyat dimana mengikuti pandangan Foucault bahwa kuasa tidak lagi bersifat represif. Kuasa bergerak dalam proses normalisasi dan regulasi. “Power has simply transfered its sphere of operation-from the body to the “soul” of the deviant”.
Djogja, 17 Mei 2010
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar