Mungkin orang akan berkata, “hari gini berbicara tentang kedaulatan, apa kata dunia? Mungkin juga pernyataan itu ada benarnya juga. Globalisasi dengan segala tetek-bengeknya telah mengembosi kadaulatan, kedaulatan negara. Globalisasi merasuki seluruh aspek kehidupan bernegara. Hampir tak ada lagi batas antara satu teritori dengan teritori yang lain. Negara menjadi borderless. Dengan globalisasi, menurut John R. Ginbbins dan B. Reimer, the world is more interconnected and altogether smaller. Dan dunia pun tenggelam dalam proses “time-space compression (istilah cultural geographer, David Harvey).
Seorang teoritis, Roland Robertson, melihat “ globalization as a concept refers both to the compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole”. Akan tetapi dalam proses makronya, globalisasi tetap saja tidak bisa lepas dari penyelenggaraan pemerintahan nasional. The end of state tidak penah benar-benar terjadi. Negara tetap menjadi domain penting dalam proses globalisasi. Dari sini, muncul global governance. Bahwa penyelenggaraan negara dipengaruhi oleh faktor-faktor ekstra negara. Muhadi Sugiono menjelaskan global governance bekerja dalam berbagai lapisan, bersifat cross cutting dan diffused. Masyarakat pun terjerat agenda besar globalisasi. Maka, kita pun masuk dalam spiral logika globalisasi.
Logika globalisasi adalah logika ekonomi. Bahwa ekonomi adalah panglima. Semua aktivitas bermuara pada keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya (capital accumulation). Pertanyaannya adalah keuntungan ekonomi siapa? Negara-negara kapitalis, USA dan sekutunya adalah sutradara di balik semua itu. Negara-negara kapitalis menancapkan hegemoninya pada negara-negara lain dengan dogma neoliberalisme. Negara pun terkooptasi pada kepentingan mereka. Tidak terkecuali Indonesia.
Globaliasi merambah ke seantero negeri dengan kapitalisme menjadi rotornya. B. Hery Priyono menjelaskan bahaw kapitalisme merupakan intensifikasi praktek homo economicus (makhlu ekonomi) yang semakin jauh mengkolonisasi gugus-gugus lain dari kehidupan manusia, personal maupun institusional. Dengan segala hormat pada sifat multi-dimensi hidup manusia, apa yang terjadi adalah imperialisme homo oeconomicus atas homo legalis (manusia hukum), zoon politikon (makhluk politik), homo socialis (makhluk sosial), animal rationalis (hewan berpikir), dan sebagainya. Di sini, negara tidak lagi sebagai lembaga yang menjamin hak warga negaranya tetepi melayani homo economicus. Negara tunduk pada kepada pemilik modal. Maka rakyat kebanyakan yang menderita akibat keboijakan-kebijakan yang tidak populis. Kebijakan pada sektor energi, sumber daya dan transportasi tidak lagi pro rakyat.
Semua yang terkait kehidupan orang banyak tidak lagi dikuasi oleh negara tetapi dijual kepada homo economicus, baik domestik maupun asing. Akibatnya harga energi tidak lagi murah, air menjadi mahal, sarana transportasi masal diganti dengan jalan toll sementra di berbagai daerah jalan raya masih belum layak dilalui (belum lagi terjadi politisasi pembangunan jalan raya). Pemerintah lebih peka terhadap moneter perbankan dari pada kehidupan petani dan buruh. Taraf kehidupan petani tidak pernah mendekati sejahtera. Para buruh selalu bergolak menuntuk hak-nya yang diambil oleh para investor. Penggurusan terhadap kehidupan masyarakat pinggiran kota demi kebijakan developmentalisme.
Negara kita telah terlanjur latah tercelup dalam kubangan globalisasi. Masalah kemiskinan terus menguntit di belakangnya. Entah sampai kapan negara kita bisa berdaulat atas dirinya sendiri, jika kita masih menyanyikan lagu globalisasi sementara masih ada daerah yang menderita kelaparan dan kurang gizi. Haruskan lubang kemiskinan ditambal sulam dengan utang?
Akhirnya, selamat hari buruh, 1 Mei 2010. Hanya satu kata: lawan!!!
Djogja, 1 Mei 2010
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar