Borong*: Tiang Sejarah Kecil


Seolah waktu mengalir deras. Tak pernah terpikir bahwa hidup sudah sejauh ini. Jalinan kisah hidup menebus waktu. Perjalanannya memindahkan jarak sejarah antara cerita yang lalu dan kini. Jelasnya, semua sudah berubah. Apa pun itu terus berubah. Semua berubah sesuai dengan perubahan tanda dan makna. Budaya pun berubah seturut pencapaian-pencapaian manusia. Sementara Mundi mutamur et nos muntamur in ilis. Dunia berubah dan kita pun terus berubah di dalamnya.

Waktu yang terus bergerak seturut kepasrahan denyut nadiku membuat aku mengerang dan mengenang akan masa yang pernah terjadi dalam hidupku. Ketika masa kecil itu indah, saat itu aku merasa indah di dalamnya. Aku merasakannya kini sebab kenangan itu masih melekat dalam memori dan sering kali mencubit senyum dan gelak tawaku. Romansa lama membuatku merasa bangga akan kisah dan daratan di mana dulu aku pernah dididik dan dibesarkan.

Pekerjaan orang tua telah melahirkan ziarah panjang perjalanan hidup. Nomaden yang akhirnya menetap di kota kenanganku sementara ini, Borong. Bagiku, Borong adalah tempat (kalau belum disebut kota) yang indah dan aman. Meski pendapat ini terkesan subjektif, tapi aku punya dasar. Warga Borong terdiri dari multi-etnis dengan corak kulturnya yang berbeda-beda. Di antaranya, ada orang Manggarai, orang Ende, orang Bajawa, orang Bima, orang Padang dan lain-lain. Selain itu, terdapat juga perbedaan diagram pemeluk agama di antara masyarakatnya yakni nasrani dan muslim yang tidak seperti di wilayah lain di dataran Manggarai yang cenderung mono-religius (Katolik). Perbedaan itu lagi dipertajam dengan tempat domisili mereka yang berdasarkan wilayah geografis, khusunya orang Ende yang mayoritas menempati wilayah kampung Ende, orang Bajawa yang menempati wilayah Lingkodia, Tanggo dan Wejang Kalo. Namun, warga Borong yang rutinitasnya beralas dari perbedaan itu menjalani hidup dengan harmonis dan toleransi. Justru perbedaan-perbedaan itu menjadi lampu penerang kota Borong dengan variasi kilatan cahayanya masing-masing. Perbedaan itu adalah kekayaan kultural yang menjadi capital (modal) untuk membangun Borong yang lebih sejahtera dan harmonis. Itulah Borong yang indah dan nyaman. Keharmonisan bisa menyulut rasa indah dan kenyamanan. Mungkin seperti Djogja yang “berhati nyaman” yang memberikan kelegaan pada setiap insan yang datang kepadanya.


Seperti itulah (kota) Borong, Borong yang ketika itu aku mulai berkenalan dengan dunia sosial setelah terlepas dari timangan orang tua dan nenek. Saat itu, Borong menyediakan ruang luas dan bebas untuk bermain. Hutan Manggrove lebat memberikan kesukaan pada anak-anak yang mencintai air dan daratan. Lereng gunung Poco Ndeki yang lebat manawarkan variasi pohon (untuk pagar sekolah SD) dan jenis burung (untuk tembak burung). Sungai Wae Bobo dan Wea Reca yang dalam dan jernih memanjakan anak untuk berenang dan melompat dari pohon tenger (sejenis pohon yang tumbuh di dataran manggove) yang besar dan tinggi ke dalam sungai, memancing ikan dan kepiting (kalamango dan rukus) dan menyelam menembak ikan dan udang air payau dengan menggunakan alat tradisonal. Saat itu tanah lapang untuk bermain sepak kaki (maen maju), layang-layangan, maen oto (mobil-mobilan yang terbuat dari kayu kapuk), perang-perangan (dengan senjata-pistol dan pedang-mainan), bermain gerobak, bongkik, ceka-roket, tali merdeka (untuk anak-anak perempuan), wayang, marcoon, kelereng dan karet masih luas. Pantai Borong yang pemurah juga menyediakan sumber gizi di meja makan selain ikan, yakni ipun/ipung, siput laut dan nener (bibit ikan bandeng). Anak-anak pantai bercengkrama dengan untaian ombak dengan berbekal tonda (bahasa Ende, perahu kecil) dan papan untuk meluncur. Kaki-kaki berpasir bersuka-ria bermain tenggara (gobak sodor) dan bermain sepak bola dengan ikan powa (sejenis ikan yang perutnya mengembang menyerupai bola setelah perutnya digaruk-garuk) sebagai bolanya. Semua itu masih membekas dalam memori dan alam bawah sadarku. Kisah yang klasik pada keliaran-keliaran masa kecil masih terekam jelas dan memberi tanda awal pada lompatan-lompatan nada kehidupan yang terus berdengung.

Borong sudah berubah. Ia terus bergerak seturut kehendak aktor-aktor yang menghuninya. Borong tidak lagi seperti masaku dulu. Kisahku sudah menjadi cerita pada anak-anak yang lahir kemudian saat hembusan angin laut menghangatkan daratan Borong yang panas. Orang Prancis boleh mengatakan “le histoire se repete” (sejarah dapat diulang kembali) tetapi sejarahku tidak bisa diulang. Sekarang, euforia dengan sekelumit permainannya sudah masuk dalam kotak simulasi yang siapa saja boleh merasakan dan memainkannya dari anak kecil hingga orang dewasa. Itulah perubahan. Borong pun tidak bisa mengunci jendela dan pintunya rapat dari cakaran “kekuasaan” pencapaian-pencapaian manusia-manusia modern yang terus “berproduksi” memecahkan teka-teki misteri kehidupan yang tidak bertepi. Semua memang pasti berubah seiring tiupan angin yang memindahkan awan. Dan sementara itu, Borong pun terus berlayar dengan kibaran layar kemajuan dan kesejahteraan, meninggalkan serpihan-serpihan rindu kisah lama di balik dinding perahu. Bagiku, Borong adalah tiang pada sejarah kecilku.


*ibu kota kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT.


Djogja, 14 Mei 2010
Alfred Tuname

Komentar