Malam-Malam

Bagiku malam adalah realitas yang paling indah. Jauh dari riak-riuk keramaian teknis kota. Berbicara tanpa keramahan paslu dan senyum yang bias di bawah mentari yang ramah. Sementara Dingin dan senyap memegahkan tiang-tiang malam yang anggun menyapa.

Aku duduk mengiring pikiran menembus petak-petak cakrawala yang bertabur ion-ion idea. Alunan Blues mengangkat hasrat menapaki tanga-tangga pikiran yang mencapai bentang langit bertabur cahaya.

Dalam remang redup bulan aku berpikir tentang senja. Senja yang tersenyum pada sinar sebelum ia pergi dan datang esok pagi. Tentang sinar yang memberi terang pada kesibukan manusia. Sementara mereka tak mau ambil pusing pada cahaya di siang hari. Mereka sibuk mengumpul kekayaan sementara masih bersinar. Entalah apa kekayaan itu selain fatamorgana di kolong langit.

Setelah cahaya benar-benar pergi tak ada yang bisa mengira esok akan kembali. Juga, aku tak mengerti mengapa siang dan malam selalu datang berganti. Untuk apa malam? Untuk apa siang?

Mungkin malam ada untuk mereka kembali menjadi diri yang otentik. Menjadikan diri manusia sebenarnya. Itu ada setelah siang menjadikan orang seperti binatang-binatang yang berbakti pada naluri dan insting. Ya, malam menjadikan orang menarik diri dari kebinatanganya. Sementara itu, ada yang justru semakin kebintangan setelah gelap merasuk tubuh. Itulah malam-malam di bumi yang semakin renta.


Djogja, 13 Maret 2010
Alfred Tuname

Komentar