E tu, Brutus??


Reformasi 1998 merupakan sebuah titik kulminasi perjuangan rakyat terhadap tindak represi dan otoriter rezim orde baru. Momentum reformasi menjadi jembatan emas baru yang mengantarkan perjalanan demokrasi Indonesia on the track yang benar di mana rakyat menjadi sumber (subjek) kekuasaan itu sendiri. Kadaulatan rakyat yang telah dipasung oleh orde baru sehingga menimbulkan resesi sejarah demokrasi Indonesia sudah dikembalikan pada tangan yang benar. Dengan demikian, rakyat tidak lagi menjadi sesaji dalam ritual pelanggengan kekuasaan aktor-aktor otoritarian.

Sosiolog Ignas Kleden dalam menjelaskan demokrasi pernah mengutip Surya Paloh bahwa “democracy is not a goal to achieve people’s walfare. If there is no walfare, democracy is of no vail”. Demokrasi bukanlah segala-segalanya. Demokrasi akan menjadi berarti jika praktek pemerintahan diselenggarakan dengan benar sembari menghormati prinsip-prinsip dasar demokrasi: kebebasan (freedom), persamaan(equality), keadilan (justice) dan ketertiban hukum (orderliness of law). Demokrasi harus bermuara pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Ini merupakan conditio sine qua non. Seperti harapan Muhamad Hatta, demokarasi harus memberi kemakmuran merata kepada rakyat. “Jika demokrasi lenyap maka lenyap pulalah Indonesia merdeka.”

Memang, terdapat banyak kritik terhadap konsep demokrasi. Amy Chua (World On Fire, 2003) pernah menulis bahwa „demokrasi tidak secara otomatis membawa kesejateraan atau memberantas korupsi, akan tetapi pemerintahaan otoriter (yang biasanya merupakan alternatif untuk demokrasi) belum tentu lebih berhasil“. Arief Budiman (Kompas,20/1/04) juga menulis bahwa „demokrasi memang bukan obat mujarab yang bisa menjawab semua persoalan“. Dan Slavoj Zizek menulis bahwa demokrasi hanyalah „necessary illusion“. Tapi setidaknya rakyat bisa bernafas lega dan keluar dari kondisi bottleneck praktek kekuasaan lalim sehingga bisa menjamin hak-haknya sebagai individu. Dalam kondisi ini demokrasi pun lebih deliberatif. Keterlibatan deliberasi rakyat banyak bisa membentuk kebijakan-kebijakan yang legitimatif dan pro kesehateraan. Setidaknya Robert Dahl memaparkan bahwa defacto, negara dengan sistem demokratis lebih makmur dibanding negara dengan sistem pemerintahan yang non-demokratif.


Joseph A.Schmeter mendefinisikan demokrasi sebagai suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara memperjuangakan kompetisi atas suara rakyat. Itu berarti keterlibatan individu-individu sangat penting dalam proses politik. Di sini, politik tidak saja menjadi urusan orang-orang tertentu (classe politica dan politikus) tetapi semua masyarakat sadar. Dan jika proses politik adalah perjuangan untuk mencapai kehidupan masyarakat yang lebih baik dan bukan sekadar mencapai kekuasan maka pilihan-pilihan politik pun tidak didasarkan pada krangkeng logika ekonomis yang pragmatis dan primordial. Sebab demokrasi politik diarahkan pada bonum comunae dimana demokrasi menjadi seni pergaulan hidup untuk mencapai kebaikan bersama.

Masyarakat yang sadar politik adalah masyarakat yang kritis dan tidak terjebak dalam bingkai pragmatisme dan primordialisme politik. Artinya, masyarakat tidak terlena oleh stabilitas-stabilitas kosong yang di dalamnya terjadi pemasungan kedaulatan rakyat itu sendiri demi pelanggengan orgasme kekuasaan penguasa. Masyarakat perlu memiliki kesadaran Brutus (Brutus Consciousness) terhadap praktek “politik orgasme” (politik artifial dan seremonial yang menjinakan rakyat) penguasa yang mengimpotenkan kontrol rakyat.

Brutus dikenal melalui drama tragis pembunuhan Julius Caesar. Ruang Senat di Roma menjadi saksi bisu tentang bagaimana Julius Caesar dibunuh komplotan Brutus dan Cassius pada tanggal 15 Maret tahun 1944 sebelum Masehi. Tempat di mana Julius Caesar berteriak penuh keheranan, „E tu Brutus“ (Engkau juga , Brutus?). Masih menurut kisah obituary, dengan tenang sang Brutus „memohon“ pada sang korban,“jika begitu, rebalah Caesar!“ (Bernald L. Tanya, Basis, No.5-6, Juni 1999). Marcus Junius Brutus adalah sang jenderal-intelektualis sekaligus „anak emas“ dari sang penguasa saat itu, Julius Caesar.

Dalam sekali baca, „teks“ ini mungkin dilihat sebagai peristiwa pengkhianatan si „anak emas“. Namun, dalam tilikan lebih lanjut, akan didapati bahwa tindakan Brutus dan komplotannya merupakan tindakan besar berselimutkan pengkhiantan untuk menyelamatkan moral bangsa Yunani dari rezim lalim-otoritarian. Dalam pembelaannya, Brutus bertanya „ apa kalian lebih suka Caesar hidup, untuk kemudian kalian semua mati sebagai budak? Atau, Caesar mati, hingga semua dapat hidup merdeka?“ (Basis, ibidem). Lalu dia menjelaskan, „ karena Caesar sayang padaku, aku menangis untuknya! Karena dia pemberani, ia kuhormati. Tetapi karena dia gila kekuasaan, dia kubunuh!“(Basis, ibidem).

Itulah keberanian Brutus melakukan tindakan besarnya. Tindakah besar yang membawa perubahan besar bagi sejarah politik Yunani. Tindakah ini sebagai, mengutip Herman Schweppenhaeuer, das Übergehen einer Gröβe in eine andere Gröβe (pergi melewati sesuatu yang besar menuju kebesaran lain). Dalam konteks saat ini, tindakan besar dalam Brutus Consciousness adalah mendorong tercapainya proses politik yang benar, adil dan demokratis. Dalam praksisnya, masyarakat tidak menjatuhkan pilihan politiknya pada figur-figur yang berwajah gila kekuasaan dengan sederet berkas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di balakangnya. Masyarakat perlu melucuti semua perangkat primordial (agama, suku, ras, golongan) dan prinsip pragmatis untuk mencari pemimpin yang benar-benar pelayan publik dan bukan hamba kekuasaan. Masyarakat pun berhak menjatuhkan figur-figur pemimpin yang mencederai nilai-nilai kepemimpinan an sich. Sebab pemerintahan dari rakyat, maka oleh rakyat pula pemerintahan itu diberhentikan dan diganti, untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyat (bonum publicum). Dan proses ini akan melahirkan “Brutus-Brutus” baru. Mereka bukan lagi pengkhianat tetapi pahlawan. Pahlawan demokrasi. Karena, seperti kata Goenawan Muhamad, pahlawan bermula dengan menolak dan berangkat dari nilai. E TU BRUTUS?


Djogja, 14 maret 2010
Alfred Tuname

Komentar