Democracy on Pilkadal


“demokrasi adalah berkah sekaligus karma,” katamu
„demokrasi adalah seni mengolah api,“ katanya
„demokrasi adalah adat orang-orang sinting,“ kata mereka
„sejarah memang punya kesintingannya sendiri,“ kata saya

(A. Nurullah, puisi „Pesta“. 2002)


Sebentar lagi pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung) Manggarai (Induk) dan Manggarai Barat akan begulir. Pilkada menjadi momen penting bagi perubahan masyarakat. Pilkadal menjadi momentum peletakan dasar bagi fondasi kedaulatan rakyat dan sistem politik serta demokrasi di arus lokal. Dalam prosesnya, rakyat berdaulat penuh menjatuhkan pilihan politiknya.


Rakyat memilih karena rakyat memiliki hak yang sama. Semua suara pemilih harganya sama (nilainya sama) sehingga tiap-tiap suara harganya ialah satu suara saja (enkelvoudig kiersrecht). Jadi, orang-orang yang tua, yang mampu atau terpelajar tidak mempunyai suara yang lebih dari pada yang muda, miskin atau tidak terpelajar (meervoudig kiersrecht). Kondisi ini menuntut setiap setiap calon (paket) menerapkan strategi marketing politik yang tepat untuk meraih suara yang semaksimal mungkin. Dan strategi machiavelian (menghalalkan segala cara) akan mencederai proses politik. Mafia pilkada, mark up suara, dan pemilih siluman harus dihindari.


Keberlangsungan pilkadal menentukan proses demokrasi. Keberhasilan dan kegagalannya mendeterminasi proses demokrasi lokal. Fenomenanya adalah pilkada masih sebatas demokrasi prosedural dan belum menyentuh esensi demokrasi itu sendiri. Pemimpin yang bersih, jujur, tidak kebal kritik dan visioner masih jauh dari harapan. Demokrasi pun bermetamoforsa menjadi electoral democracy.



Menurut Wolfgang Merkel, demokrasi substansial memiliki syarat sebagai berikut a) adanya pemilu demokratis yang mensyarakatkan berfungsinya sistem kepartaian politik, b) terjaminnya hak-hak partisipasi politik, dan c) hak-hak kebebasan warga, d) tersedianya ruang bagi kontrol horizontal atas kekuasaan,serta e) adanya pemeritahan yang efektif. Dalam pilkadal, fungsi partai menjadi sedikit anomali. Partai sebenarnya sebagai organisasi yang mampu mewakili aspirasi rakyat dalam menetukan kriteria pemimpin yang demokratis justru bertindak sebagai debt collector yang melihat calon kepala daerah sebgai mesin uang. Meknisme partai tidak berlaku. Partai hanya mendukung kepada calon-calon yang memiliki sumber ekonomis berlimpah dan lobying. Akibatnya, disharmoni dan dualisme kepemiminan partai antara pusat dan daerah. Arus Money politics dan oligarki partai merajalela pada lintasan ini. Terdapat semacam premis mayor bahwa a candidate without money almost surely will not elected. Otonomi rakyat dalam partisipasi politik dimandulkan. Masyarakat calon pemilih sengaja diarahkan dengan memanipulasi simbol-simbol primordialisme. Akibatknya, urgensi program, visi dan misi calon dinomorduakan dalam praktek campaign. Kontrol civil society terhadap praktek kekuasaan dibalas dengan tindakan represif aparatus negara. Sementara pemerintahan yang efektif mash jauh dari harapan. Good govenance membusuk dan tinggal slogan.


Otonomi daerah belum manaikan prosentase demokrasi di tingkat lokal. Otonomi rakyat sengaja dikebiri untuk kepentingan otonomi elite. Elite lokal menguasai menguasai kantong-kantong ekonomi, sosial dan politik. Maklum, masyarakat dengan budaya patrimonialistik, peran elite cukup kuat. Mereka memiliki otoritas dan dominasi. Menurut Pareto, elite terdiri dari mereka yang sedang memegang kekuasaan (governing elite) dan yang ada di luar kekuasaan (non-governing elite). Dalam konteks politik, para elite tersebut terangkum dalam kelas yang disebut classe politica.


Dalam kehidupan politik, riak pilkada menjadi ajang sirkulasi classe politica tersebut. Perpindahan tempat antara governing elite dan non governing elite. Maneuver-maneuver politik pun diarahkan untuk bertahan dan merekbut kekuasaan. Seperti perkelahian gaja, maka rakyatpun menjadi korban.


Namun, bagaimana pun juga manusia adalah konsumen maupun produsen dari aktivitas politik. Manusia adalah awal dan akhir dari apa pun bentuk gerakan, kebijakan, peraturan sampai tujuan ideal berbangsa, bernegara dan berpolitik. Dalam hal ini, manusia Manggarai (Induk dan Barat) punya pilihannya sendiri (otonomi) dalam aktivitas politik. Mereka menjadi tuan (subjek) untuk menentukan perjalanan bangsa Manggarai selanjutnya. Pengenalan calon kepala daerah dalam semua dimensi kehidupannya sangat penting sehingga bisa menjatuhkan pilihan pemimpin seperti apa yang dibutuhkan. Political tracking calon kepala daerah harus juga menjadi prioritas pelacakan sebab kalau tidak kehidupan masyarakat tidak akan pernah berubah. Dan tana bate dading pun masi dipimpin oleh drakula dan neo-Amangkurat yang menjual tanah dan bangsanya kepada orang asing. Pilihan harus jatuh pada calon yang visioner dan populis dengan masyarakat (mengacu pada Ernesto Laclau, politics is populism) dan tidak terhasut oleh banalitas dan dan narsisme politik mereka. Pilihan yang tepat akan mampu membawa Manggarai (Induk dan Barat) kepada kesejahteraan.



Djogja, 31 Maret 2010
Alfred Tuname

Komentar