Bangsa Seperti Pantat



Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman

(Koes Plus, "Kolam Susu")



Konon, negara kita adalah negara yang gemah ripah loh jinawi. Negara kaya yang memiliki sumberdaya alam yang berserakan di seluruh hamparan negeri ini. Tanah dan laut serta segala isinya dapat diolah untuk sesuatu yang useful. Belum lagi produk intangible yang dalam tradisi dan budaya hampir melekat dalam setiap pribadi anak bangsa ini. Katalog sejarah juga menceritakan bahwa negara kita adalah negara yang besar.

Namun perjalanan kapal besar negara ini mulai miring dan terseok-seok. Semoga saja tidak tenggelam. Setelah melewati, apa yang disebut Soekarno, jembatan emas, kebesaran bangsa mulai terkikis oleh tikus-tikus yang amnesia pada sejarah. Mungkin baginya, sejarah hanyalah potret usang yang tidak bernilai apa-apa. Padahal Milan Kundera pernah mengatakan „humanisme ist der Kampf der erinnerung gegen das vergessen“ (humanisme adalah perjuangan melawan lupa). Sejarah diperlakukan seperti atlet nasional yang euforia sambutan dilantunkan hanya pada masa jayanya. Setalah semua berlalu, kehidupannya tidak diperhatikan. Lalu hidupnya disambung dengan menjual/mengadai tropi dan medali.


Sejak merdeka tahun 1945, negara kita terus berkembang. Ia hanya terus berkembang tak maju-maju. Sejak Sekolah Dasar (SD) sudah terdengar tembang manis berjudul „Tinggal Landas“. Entah apa maksud nyanyian itu. Hingga sekarang, landasannya belum diperbaiki. Jika sudah begitu, mana mungkin landas ditinggalkan. Jika terminologi „landas“ mengacu pada kemapanan sektor pertanian maka justru di sinilah letak permasalahnnya. Status negara kita beralih menjadi negara pengimpor beras. Sempat dibarter dengan pesawat buatan dalam negeri. Petani sangat miskin. Padahal petani mendominasi penduduk Indonesia. Pemerintah lebih senang memberi sumbangan (tunai) dari pada membantu pemudahan fasilitas pertanian.

Lalu bagaimana tabiat para pejabat bangsa ini? Sejak dulu, dari sebelum merdeka tahun 1945 hingga sesudahnya bahkan sampai sekarang masa reformasi watak feodal masih melekat dalam pribadi pejabat. Seolah-olah jabatan adalah warisan nenek moyang dan barang pribadi. Perilaku penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) pun terjadi dalam lembaga. Bahkan aktivitas itu sudah membadan(embodied) dalam diri. Perilaku ini berkembang kearah actonian (Lord Acton). Semakin tinggi kekuasaan makin tinggi pula perilaku koruptifnya (power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely). Kekuasaan hanya dilihat dalam perspektif ekonomi-profit bukan pelayanan. Dan benarlah tesis Karl Popper tentang sejarah politik bahwa pertama, kekuasaan mempengaruhi kita semua; kedua, manusia cenderung memuja kekuasaan, meski kita tahu bahwa pemujaan terhadap kekuasaan adalah hal terburuk dalam sejarah umat manusia; ketiga, mereka yang berkuasa cenderung ingin dan suka dipuja, dan memaksakan kehendaknya (Islah Gusmian, 2004)

Kasus terakhir, dari Cicak-Buaya, Century hingga makelar kasus (markus), menceritakan betapa lembaga negara ini tidak adil terhadap rakyatnya. Kekuasaan benar-benar dipergunakan untuk kepentingan pribadi dan kroni. Seperti membelah bambu, yang di atas makin diangkat sementara di bawah terus dibelah dan dipotong. Lembaga hukum justru melawan hukum, lembaga eksekutif semakin eksklusif dan memperkaya diri, dan lembaga legislatif sementara berjalan pincang seperti, istilah M. Fadjroel Rachman, tiang-tiang kaki Zeus yang kehilang cinta Hera. Tolak-tarik kepentingan (partai) sangat kuat. Lembaga-lembaga ini tidak lagi mengambil posisi “noblesse oblige” (petinggi atau orang yang mendapat kemulian pangkat memikul kewajiban) dan “gouverner c’est prevoir” (memerintah yang melihat kedepan) tetapi justru membenani rakyat dengan berbagai kewajiban dan larangan.

Itulah perjalan bangsa kita. Bangsa yang kaya dalam cerita. Kanon-kanon berisi nilai-nilai etika tinggal konon dan mitos. Asiaweek 8 September 1995 pernah menurunkan ulasan dengan judul: Beyond the profit motive: As Asias get richer, Asia needs an ethic for wealthy (lebih dari sekadar motivasi laba: ketika orang-orang Asia bertambah kaya, maka Asia memerlukan etika untuk kaum kaya tersebut) (dalam Jacob Oetama, 2001). Sayangnya, Bangsa sudah kehilangan etika. Dan jika manusia sudah hilang kesadaran akan nilai-nilai etika apa bedanya dengan bintang yang hanya mengandalkan naluri dan insting. Jangan-jangan perahu bangsa sedang di-handling oleh animal-animal ini. Lalu quo vadis Indonesia? Boro-boro mau terbang. Jalan saja masih terseok-seok menggunakan pantat di atas landas. Pantat bangsa. Harapannya semoga tidak nyaman dengan itu, tetapi cepat bangun dan berlari kearah yang lebih baik, to utmost. Run Indonesia, run!!!

Djogja, 25 April 2010
Alfred Tuname

Komentar