SIWE DI MATA SEORANG TEMAN

Lonceng gereja tua di kota seribu gereja
Apa kabarmu di sana? Masihkan sisa cerita
Yang pernah kulewati bersama ayah bunda tercinta
Teman dan keluarga…

(Siwe, Riki M. dan Rino N., lagu Selamat Natal dari Jogja)


Saya pernah menonton sebuah film yang sangat menarik sayangnya hingga saat ini saya masih lupa judul film tersebut. Tapi ada salah satu kalimat yang mengelitik perasaan saya. “seorang sahabat tidak pernah menjatuhkan sahabatnya sendiri”. Kalimat ini terucapkan oleh aktor Robert de Niro kepada seorang anak kecil yang menjadi sahabatnya. Kalimat ini menarik bagi saya karena memang sahabat itu penting. Ia menjadi penting untuk seorang yang ingin lebih baik. Seorang sahabat tidak menginginkan apa-apa selain sahabatnya bertumbuh lebih baik. Dalam hal ini, saya memposisikan diri sebagai seorang sahabat Silvanus Ardyansah.

Sil adalah nama kecil yang menjadi sapaanya (nickname). Di Jogjakarta, teman-teman sering memanggilnya dengan nama Siwe. Dan Siwe tetap saja Sil yang dulu. Tidak ada prosesi sakral untuk perubahan ini. Siwe adalah akronim dari Sil Wedol. Wedol dalam kamus bahasa Manggarai berarti gila, keranjingan. Kata wedol yang dikenakan di belakang nama Sil tidak lantas berarti Sil adalah seorang yang psikopatologis. Wedol menjadi label atas nama Sil karena memang orang ini berbeda. Sosio-Psikologis orang Manggarai agak susah menerima perbedaan akan menganggap sesuatu yang berbeda itu dengan kata wedol. Tapi bukankah jika seorang yang ingin maju, orang harus berbeda dari yang umumnya? Hanya keranjingan yang sukses, bukan? Dan Siwe sudah menjadi benchmark atas diri dan karyanya.


Lalu siapa orang ini? Siwe adalah kepompong seniman jika belum dikatakan kupu-kupu atau artis (musisi). Yang jelas artis karena konsekuensi karya bukan karena cita-cita. Pemuda Manggarai ini memilih jenis musik Rap sebagai jalannya.”ini jalanku”, begitu katanya dalam sebuah lagu. Artinya dia adalah seorang rapper sekaligus pencipta lagu. Pada mula, genre ini sedikit jarang digandrungi oleh teman-teman Congka sae. Lambat laun, genre ini mulai merasuki ase-kae/lawa Manggarai.

Setiap orang pasti tahu akan makna dari semua perbuatannya. Dengan itu, perbuatannya menjadi wujud dari cipta, rasa dan karsanya. Siwe mencipta dan menyanyikan lagunya sendiri merupakan artikulasi rasa, cinta, kerinduan dan keresahan akan apa yang dialami oleh seorang pemuda. Dan lagu menjadi pipa yang baik untuk menyalurkan semua dinamika aliran rasa yang terbungkus dalam diri pribadi. Dan kreativitas menjadi menjadi penting untuk makna pada untaian tetes-tetes syair yang mengalir. Dan Siwe sudah dan masih terus berenang dalam arusnya sendiri, genrenya sendiri.

Sil mengekspresikan semuanya dalam lagu. Tentang eksistensinya, tentang kerinduannya di hari Natal, tentang kritik ketidakadilan di Manggarai, tentang cinta, et cetera, and so on. Dengan caranya, ia menyusupkan syairnya dalam tangga nadanya sendiri. Dan ketika mengudara, lagunya dapat memanjakan atau dapat pula memerahkan telinga para penikmat lagu. Dan kata wedol yang melekat di belakang Sil merupakan titik puncak dari semua akumulasi respon pendengar. Wedol bisa berarti positif, bisa juga negatif. It’s depend on the need of. Dan menurut saya, Sil tahu apa yang dia buat. Apa pun reaksinya, harus diterima. Ia akan menjadi tertangguhkan bila semua itu diterjemahkan dalam lagu dan lagu; seperti syair “ ...dan mungkin hanya lagu berkisah untuk semua yang parnah ada...“ (lagu Selamat Natal dari Jogja)

Teruslah berkarya teman. Sendiri atau dengan teman-teman (Rino N., Riki M., Lil Christ, etc). Dengan itu, namamu akan dikenal tapi bukan untuk terkenal. Untuk perubahan perlu ada kata dan suara meski itu di padang gurun. Kata adalah senjata, kata Subcomandante Marcos, seorang pejuang Zapatista. Tentu saja dengan caramu sendiri. Berteriaklah atas nama kreativitas dan kebebasan!!! Kepakkanlah sayap kupu-kupu kecilmu maka akan tercipta badai tornado di bumi congka sae. Profisit.



Jogja, 19 Februari 2010
Alfred Tuname

Komentar