Sejenak Politik


Setiap orang punya hak politik. Hak politik tidak saja sekadar membicarakan persoalan politik tetapi juga terlibat dalam aktivitas politik. Dalam tingkatan diskursus, tema politik selalu menarik. Ketertarikan politik ada karena politik merupakan ekspresi natural manusia (nature). Politik juga nurture sebab dipegaruhi oleh pangalaman sosialnya. Boleh jadi, politik adalah „belalang“ yang memilik waktak yang berbeda sesuai dengan karakter ladangnya.

Berdasarkan antesenden-antesenden itu, maka makhluk politik, zoon politikon, mendefenisikan politik secara berbeda-beda. Machiavelli hidup di zaman renaissace yang penuh konflik dan kecurigaan. Hobbes dilahirkan secara prematur saat armada laut Spanyol siap menggempur London yang tidak jauh dari kota kelahirnnya; hidup dalam ketakutan peristiwa berbarah. Schmit hidup di masa akhir Republik Weimar dan era totalitarianisme NAZI Jerman. Habermars, Laclau, Mouffe, Arendt dan Rawls menyaksikan puing-puing peperangan (Perang Dunia II, Perang Vietnam) saat fajar demokrasi telah menyingsing dan jargon globalisasi telah kian akrab. Beberapa contoh curriculum intelektual politik di atas menyakinan kita akan akan perbedaan defenisi politik yang pernah mereka deskripsikan berdasarkan nurture mereka masing-masing.


Pendefinisian Politik tentu didasarakan atas proses kesadaran berpikir. Berpikir secara kritis. Jika poltik dilinearkan dengan kekuasaan maka proses berpikir menempati posisi yang urgen. Berpikir menjadi urgen karena krisis kekuasaan itu terjadi karena krisis berpikir. Michael L. leGault (writer) menulis bahwa “Critical thinking is a cognitive skill that permits a person to logically investigate a situation, problem, question, or phenomenon in order to make a judgement or decision”. Lagi-lagi, politik tidak lepas dari kehidupan manusia. Di sini, politik terkait dengan kecerdasan (intelektualitas) dan insting. Karena intelektualitasnya, orang ingin membicarakan politik dan karena instingnya (der wille zur macht), orang pun ingin menceburkan diri dalam realitas politik. Bahkan ketika seseorang tidak ingin menerima sakramen politik pun sebenarnya ia sedang berpolitik.

Kita pun yang hidup di abad XXI dan anak emas teknologi atau lebih khusus lagi fecebookers dan bloggers mampu mendefensikan politik dan menceburkan diri dalam realitas politik an sich. Bukankah politik bergentayangan dimana-mana? Jika politik itu seni, maka kita pun mampu memainkannya. Seperti sebuah adagium „everyone can dance“. Defenisi politik pun melahirkan atribut moralitas. Politik yang berarti positif (baik) dan negatif (buruk). Kembali lagi, penalaran melingkar, semua itu tergantung pada subjek yang bercerita tentang politik yanki subjek yang ingin menimba kata Hannah Arendt „die erloesende kraft des Erzaehlens“ (kekuatan emansipatoris dari bercerita).

Apa pun itu, politik harus dikembalikan pada rahimnya. Pada zaman Yunani, polis adalah negara kota. Martin Heidegger menulis, polis adalah sebuah tempat historis (historical place), sesuatu yang ada di sana (the there) dan di sini (the here) yang di dalamnya sejarah terjadi. Dalam polis (ruang publik) orang menjadi politis apabila menjalankan kewajibannya sesuai dengan profesi masing-masing secara sungguh-sungguh. Sebuah penyimpangan dianggap apolitis. Di sini, manusia hidup bersama-sama dalam komunikasi yang bebas kepentingan, koersi dan kekerasan. Dan lahirlah terminologi zoon politikon (manusia politis yang hidup dalam polis). Dalam polis, manusia mewujudkan kemanusiaannya secara sungguh-sungguh. Ia menyingkapkan dan merealisasikan siapa dirinya dalam komunikasi secara bebas dan ekual. Polis bebas dari private interest baik itu individu pun kelompok. Yang ada hanyalah kepentingan bersama pro bonum publicum. Sebab itu, komunikasi selalu bersifat transparan dan semua berpartisipasi (public partisipation). Dan menurut Jurgen Habermars, tindakan komunikatif adalah mendium di mana kehidupan bersama yang intersubjektif terjadi. Inilah politik.

Perjalanan politik menuju rahimnya masih berlangsung. Perjalanannya adalah sejarah. Sejarah yang diciptakan oleh aktor-aktor dalam polis(konsep Heideggerian). Dan demokrasi merupakan salah satu saluran yang minus malum menuju rahim politik. Dengan itu, kekuasaan dikembalikan kepada subjeknya, publicum. Vox populi vox Dei!!!


Djogja, 29 Maret 2010
Alfred Tuname

Komentar