Sore, ketika pekat malam mulai berjatuhan aku duduk bersama kawan-kawanku. Rokok terus saja menggosok asap. Seolah kumparan api berkejaran meraih bibir. Flamma fumo est proxima. Flame follows smoke. Sementara panas kopi Manggarai mengendap-endap masuk saluran pencernaan. Kami berdiskusi, berwacana dan bercerita. Berdiskusi tentang wajah perilaku politik yang terekspose dalam bingkai televisi yang konon tidak berpolitik. Tentang taman wakil rakyat yang bukan saja berubah menjadi dewan kanak-kanak tetapi sudah bermetamorfosis membentuk kawanan serigala berbaju fakir miskin. Entah apalagi yang mereka rebutkan kalau bukan kepentingan pribadi yang sudah berjamaah. Dengan itu tidak ada lagi terminologi rakyat sebagai kiblat bakti. Rakyat hanyalah selaksa diksi dalam kampanye. Semper paratus (always ready) hanya untuk kroni dan partai. Tujuan pun diubah menjadi alat dan alat menjadi tujuan.
Dari diskusi, lahirlah wacana yang terus saling beranak. Hampir putus tapi terus menghasilkan resultante. Realitas telah menjadi teks yang terus dibedah dan dibongkar. Dibongkar dan dibangun kembali. Teks itu pun disusun oleh teks-teks lain dalam jalinan interteks. Di sini, teks tidak lagi bermakna Sausserian yang tunggal di antara signifier dan signified-nya. Ada banyak tumpukan tafsir makna di atasnya. Laju tafsir di atas rel makna pun datang bertabrakan. Crash. Duntak. Setiap punggawa memengang steer-nya masing-masing. Di sini, menu politik pun disayat menggunakan perangkat teori politik, ekonomi, psikoanalisis, linguistik, moral dan religius. Maklum, kawan-kawan adalah nahkoda kapal dengan diktat yang berbeda meski dengan arah kompas yang sama yakni pro bonum publicum.
Kawan-kawan bukanlah kawanan anjing diare-verbal yang terus menyalak dan menunggu. Mereka berpikir dan bergerak. Membongkar malpraktek negara yang steady state. Melucuti aktor komedian yang berperan ganda: menghibur bangsa sekaligus menggadaikan negara.
Tak terasa debit kopi semakin surut. Lalu rokok yang diapit jemari habis dilahap angin. Pikiran mulai lelah. Layar pun mulai dialihakan sebelum sauh dijatuhkan. Topik menjadi sedikit lebih menghibur. Maklum masih muda. Masa di mana ketidakpastian dan kepastian akan masa depan berkumpul berotasi. Dan bercerita adalah proses respice, adspice dan prospice. Looking to the past, the present and the future.
Bercerita. Bercerita pada diri. Tentang cinta. Amor vincit omnia. Laki-laki dan perempuan. Kisah yang memegang ekor setiap orang seberapa jauh pun ia telah melangkah. Penafsiran atas cinta hingga melahirkan suka cita dan duka cita. Sambung rasa dan patah hati. Dualitas itu selalu berputar dengan cinta sebagai rotornya. Dari dulu hingga kini, selalu begitu ceritanya.
Dan di akhir sesi, sahabatku menutup dengan sebuah kutipan: “cinta mempunyai logikanya sendiri hingga logika pun tak mampu memahaminya”.
“Itulah cinta, deritanya tiada akhir”, lanjutku.
Kami pun berdiri dan bubar dari tempat duduk masing-masing. Kami telah datang, „lihat“ lalu pulang. Veni, vidi, volo in domum redire.
Propino tibi salutem!!
Jogja, 16 Desember 2009
Alfred Tuname
Dari diskusi, lahirlah wacana yang terus saling beranak. Hampir putus tapi terus menghasilkan resultante. Realitas telah menjadi teks yang terus dibedah dan dibongkar. Dibongkar dan dibangun kembali. Teks itu pun disusun oleh teks-teks lain dalam jalinan interteks. Di sini, teks tidak lagi bermakna Sausserian yang tunggal di antara signifier dan signified-nya. Ada banyak tumpukan tafsir makna di atasnya. Laju tafsir di atas rel makna pun datang bertabrakan. Crash. Duntak. Setiap punggawa memengang steer-nya masing-masing. Di sini, menu politik pun disayat menggunakan perangkat teori politik, ekonomi, psikoanalisis, linguistik, moral dan religius. Maklum, kawan-kawan adalah nahkoda kapal dengan diktat yang berbeda meski dengan arah kompas yang sama yakni pro bonum publicum.
Kawan-kawan bukanlah kawanan anjing diare-verbal yang terus menyalak dan menunggu. Mereka berpikir dan bergerak. Membongkar malpraktek negara yang steady state. Melucuti aktor komedian yang berperan ganda: menghibur bangsa sekaligus menggadaikan negara.
Tak terasa debit kopi semakin surut. Lalu rokok yang diapit jemari habis dilahap angin. Pikiran mulai lelah. Layar pun mulai dialihakan sebelum sauh dijatuhkan. Topik menjadi sedikit lebih menghibur. Maklum masih muda. Masa di mana ketidakpastian dan kepastian akan masa depan berkumpul berotasi. Dan bercerita adalah proses respice, adspice dan prospice. Looking to the past, the present and the future.
Bercerita. Bercerita pada diri. Tentang cinta. Amor vincit omnia. Laki-laki dan perempuan. Kisah yang memegang ekor setiap orang seberapa jauh pun ia telah melangkah. Penafsiran atas cinta hingga melahirkan suka cita dan duka cita. Sambung rasa dan patah hati. Dualitas itu selalu berputar dengan cinta sebagai rotornya. Dari dulu hingga kini, selalu begitu ceritanya.
Dan di akhir sesi, sahabatku menutup dengan sebuah kutipan: “cinta mempunyai logikanya sendiri hingga logika pun tak mampu memahaminya”.
“Itulah cinta, deritanya tiada akhir”, lanjutku.
Kami pun berdiri dan bubar dari tempat duduk masing-masing. Kami telah datang, „lihat“ lalu pulang. Veni, vidi, volo in domum redire.
Propino tibi salutem!!
Jogja, 16 Desember 2009
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar