COGITO

Kadang aku berpikir untuk lepas dari keterikatan atas ketertarikan. Lepas dari semua sentimen yang pernah kutanggap dari pesona yang tak sengaja kau tawarkan. Pesona persona yang mempesonakan insan personal. Ia memanjakan titik-titik lemah homo sapiens. Seperti pemirsa pada lakon-lakon humor Televisi, bolamania pada gerak-gerik virtual playstation, shopaholic pada etalase-etalase pakaian et cetera, ketertarikan itu berkerja robotic dan outomatic. Lalu intelektual ekonomi mencoba mengkonversikan mekanisme itu dalam rumusan yang khusus diberlakukan untuk homo economicus. Bahwa supply creates its own demand (penawaran selalu menimbulkan permintaannya sendiri). Pesona, dalam domain ekonomi, dilihat sebagai salah bentuk penawaran. Jika penawaran manis permintaaan akan laris.


Pesona sering terbungkus dalam kemasan kemilau. Ini yang disebut dengan citra; persepsi yang ditimbulkan sebuah “produk”. Dalam dunia reflexive modernity, citra adalah mata uang (soft currency) yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan keinginan-keinginan khusus (special desire). Dalam politik, pencitraan menjadi strategi yang afdol untuk meraih jabatan politis dan/atau pemerintahan. Baliho jalanan, pamflet kantoran, media cetak atau media elektronik sering menjadi sampah visual sebagai produk politik pecitraan zoon politicon yang dirasuki der wille zur Macht nan pragmatis. Narsisme politik bekerja di sini. Narsisme tidak saja berarti mencari kepuasan diri dengan seks (FREUD) tetapi juga dengan menyanjung diri sendiri (self admiror) dan mengagung-agungkan diri (self glorification). Itulah politik artifisial, esensi tidak lagi penting, hambar, sebab propaganda itu lebih mendekati zone of tolerance, wilayah dimana variasi penawaran masih dapat diterima oleh kulminasi permintaan (masyarakat). Padahal politik tidaklah sekadar mempertaruhkan kemungkinan untuk memperoleh kemungkinan yang lebih besar. No pain no gain.


Jika ketertarikan adalah variabel dependen, maka pesona adalah salah satu variabel independen dalam model Responsiveness. Pesona bersifat elusive (tidak dapat diukur) tapi determinan terhadap pola ketertarikan sebab ini sangat terkait dengan loyalitas. Dan loyalitas adalah asimilasi proses intelektual dan emosional yang memiliki resultante unpredictable dan uncertainty. Kompetisi lahir untuk merebut loyalitas tersebut. Loyalitas yang diperoleh dari white campaign atau pun black campaign dalam politik. Keluarga (basis genealogis), money politics (demokrasi sembako)dan sumbangan yang quod pro quo (imperatif kategoris Kantian) ternyata belum mampu membeli loyalitas (voters). Sebab perjalanan simplisitas politik tersebut akan “face to face” dengan kemungkan-kemungkinan yang siap jadi mungkin.


Politik yang santun adalah politik yang bermain dalam ranah etika politik. Politik tanpa simplisitas dan banalitas politik. Di dalamnya terdapat keindahan, nilai-nilai luhur dan cita-cita yang besar. Dengan syarat demokrasi, praktek politik akan membawa misi perubahan di masyarakat. Masyarakat merindukan pemimpin yang lahir dari proses politik yang demokratis bukan machiavelian-totalitarian.


Sehingga aku pun mulai berpikir untuk tidak tertarik pada pesona (image), sketsa yang pura-pura dirancang. Aku tertarik pada kompetensi dan integrirtas. Pemimpin yang demokratis bukan panutan yang kami cari.



Jogja, 08 maret 2010
Alfred Tuname

Komentar