Menonton Final


Menonton Final

Sepak Bola adalah olah raga yang menyenangkan. Sepak bola tidak elitis sebab didapat dijangkau semua lapisan masyarakat. Orang di pelosok pun, di Colol, Manggarai Timur, NTT misalnya, boleh bermain sepak bola. Bermain sepak bola dan menonton sepak bola sama asiknya. Ada nilai yang sedang dikuras dan bukan sekadar game. Sportivity and fair play. Orang bebas mengulik bola namun kebebasan itu dibatasi oleh aturan yang mengikat. Aturan FIFA.

Bola mania atau penggila bola pasti menyaksikan final copa Indonesia 2009. persipura jayapura versus Sriwijaya FC, Pelambang. Pertandingan itu digelar di kandang Sriwijaya FC. Sebuah suguhan atraksi yang menarik. Setiap kubu memainkan bola dengan kualitasnya yang terbaik. Manis di mata.

By the go second, Sriwijaya FC unggul. 1-0. Tensi permainan semakin bergejolak. Dua pelanggaran di kotak pinalti sektor Sriwijaya FC tidak digubris oleh sang hakim pertandingan. Maka jadilah petaka dan petiki. Silang sengkarut kepentingan berkejaran di arena. Jelas saja Sriwijaya FC diuntungkan. Pertandingan pun delay. Ada apa gerangan? Persipura Jayapura berhenti bermain.


The paradox of Indonesian football. Sepak bola Indonesia hendak digiring pada pesta sepak bola dunia. Sebuah pesta yang merayakan ultimate value of football. Fair play and sportivity. Iri hati terhadap South Africa memotivasi bangsa untuk menawarkan diri sebagai tuan rumah world football tahun 2022. katanya begitu. Atau mungkin lebih cepat lebih baik. Masalahnya, sepak bola Indonesia belum bisa berjalan cepat. Masih merangkak seperti bayi; ta…teh…ta…teh…

Sepak bola Indonesia punya ambisi selangit. Eh.. ternyata ambisi itu tak punya amunisi. Jadi ketika ditembakan yang keluar dari lubang meriam hanyalah asap hitam. Sekarang coba tengok arsenalnya. Gudang senjata tak lagi berisi peti peluru dan ransum bagi algojo persepakbolaan. Gudang telah menjadi sarang. Sarang penyamun.

Mari kita regres pada final copa Indonesia 2009. Suporter Persipura tentu bertanya-tanya, mengapa pagelaran final copa diselenggarakan di kadang Sriwiyaja FC? O iya, ternyata gelora Bung Karno lebih cocok untuk arena kampanye dari pada gelanggang olah raga. Gelora Bung Karno bukan lagi milik bangsa sebab sudah menjadi alat anggunan negara kepada debitor. Sedih ya. Let’s sell our home. Tapi, mengapa mesti di kandang Sriwijaya? Bukankah ada stadion lain? Stadion yang ‘win-win solution” bagi kedua pihak. Oh iya, win-win solution ternyata hanya milik dewa. Manusia hanya sejenis gading yang selalu retak. Atau mungkin sejarah selalu ingin membuat tidak adil terhadap papua. Sampai kapan?

Lalu bagaimana dengan jalannya pertandingan? Tuan pertandingan adalah tuan yang punya hak absolute. Keputusannya tidak dapat diganggu-gugat. Bunyi fluit, kartu kuning dan merah adalah signifier, penanda. Alat kekuasaannya. Seperti jabatan politis, tuan pertandingan memiliki absolute power. Celakanya, power tends to corrupt and obsolute power tends to corrupt absolutely. Actonian power. Historisnya, sabda ini selalu mendarah daging. Aksi walk out Persipura tidak bisa disalahkan. Long march menjadi gerakan perlawanan terhadap tindak tuan pertandingan. Tuan pertandingan tidak membuat a fair deal. Nilai sebuah pertandingan lebih penting ketimbang permainan an sich pun hadiah miliarannya.

Maka marilah kita menengok final piala konfederasi piala dunia 2009. Brasil versus Amerika Serikat. Betapa indahnya suguhan itu. Perpaduan kualitas teknik bermain dan ambisi melahirkan seni sepak bola. Layak untuk dinikmati publik. Tidak ada protes yang berlebihan ataupun aksi childish meski wasit tidak membuat keputusan saat sebuah kajadian menuntut keputusan. Saat itu, misalnya, bola telah berada di dalam gawang Amerika Serikat dan didorong keluar oleh Howard. The show goes on. Penghayatan akan supremasi hukum sangat tinggi. Jelas terlihat karakter bangsanya. Pars pro toto, bukan?. Dan memang national character building harus di”pahat” dalam setiap pribadi anak bangsa. Dengan itu, setiap pribadi adalah ukiran indah produk bangsa yang layak dijejerkan pada etalase internasional.

National character kita baru mulai direkonstruksi dari pazzel yang terpilah-pilah. Banyak sektor yang harus dibedah. Semua harus berbenah. Termasuk olahraga. Harapannya, selama masa restorasi ini pemimpin dan dipimpin dapat bersinergi. Paling tidak topi yang dipakai sama: NASIONALISME.

Alfred Tuname. Akhir juni 2009

Komentar