Seputar Tambang Manggarai



Seputar Tambang Manggarai

Tambang adalah wacana trigger yang mencubit perut kemapanan multi interest. Dalam Economics Study disebut multiplier effect. Tambang tidak saja membuka katup kalkulus ekonomi tetapi juga volatilitas politik, kemapanan sosial, keadaban budaya dan stabilitas. Like or dislike, terdapat kegembiraan sekaligus rintihan dalam tambang; ada pihak yang mengais keutungan dan ada juga pihak lain yang meraup kesengsaraan dan kemelaratan. Inilah multilema tambang.

Persoalan muncul lantaran perbedaan standar penakaran profitabilitas tambang dalam belutan kepentingan dan sponsor. Tentu saja dalam proses matematisasinya, neraca tidak bisa digunakan untuk melihat equilibrium efek positif dan negatif tambang. sebab itu berarti 1+1=0. Persoalan tambang tidak bisa ditelisik dalam kerangka equilibrium. Kerangka equilibrium perlu diganti dengan kejian feasilitas. Sudah layakan aktivitas pertambangan di Manggarai di tengah carut-marut perosalan kualitas SDM, instabilitas politik dan realitas sosial-kebudayaan yang mati enggan hidup tak mau? Feasibility study tidak semata yang dilakukan oleh para investor pada saat eksplorasi teknis tetapi kajian semua elemen masyarakat Manggarai.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa propinsi NTT merupakan salah satu propinsi miskin di Indonesia. PAD yang sangat terbatas hanya membiayai pembangunan yang terbatas pula. Begitu pula dengan realisasi investasinya. Kondisi ini linear dengan pendapaan perkapita masyarakat NTT. Realitas ini tidak berbeda jauh dengan kabupaten yang mendukungnya, kabupaten Manggarai (Manggarai Barat, Manggarai Induk dan Manggarai Timur). Pemekaran Kabupaten Manggarai masih belum membawa perubahan perekonomian bagi masyarakat. Kemiskinan masi menjadi primadona. Ada kritikan bahawa kabupaten baru tanpa amunisi.

Secara umum pertumbuhan ekonomi year on year Mangarai terus meningkat. Pertumbuhan ini paradoks dengan kondisi real masyarakat Manggarai. Trend kesejahteraan masih flat. Paradoks ini mengindikasikan adanya pemiskinan struktural. Secara ekonomi, piramida kondisi masyarakat masi sangat tinggi. Kondisi puncak diduduki oleh para chinese overseas berupa kekuatan oligopoly dan oligopsony dan “the tops of Manggarai”. Perinkat kedua adalah para pedagang pribumi yang sukses dan pejabat-pejebat pemerinthan, para kontraktor serta tuan tanah. dan penghuni terakhir adalah pedagang kecil, petani dan buruh. Jumlahnya sangat banyak.


Investasi merupakan identitas pertumbuhan ekonomi. Banyak penelitian yang menyimpulkan petumbuhan ekonomi linear terhadap pertumbuhan ekonomi. Atas dasar inilah investasi diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi Manggarai. Jika ada adagium “carilah ilmu sampai ke negeri cina” mungkin bisa divermack menjadi “carilah investor samapi ke negeri cina”. Dengan strategi promosi baik dan negosiasi yang baik (soft spoken negotiation), pemerintah daerah berhasil memboyong investor. Potensi sekor jasa dan pertambangan sangat diminati oleh para investor.

Salah satu strategi pembangunan adalah dengan model Quantum Leap (Lompatan kuantum), ide Soejatmoko, mantan rektor Universitas PBB, Tokyo. Investasi dan jasa bisa dijadikan dasar lompatan untuk melibas kemiskinan. Dalam bahasa fisika kuantum, loncatan memelukan energi awal yang cukup yang dapat diambil dari potensialitas massa (mass defect) atau kejutan energi yang luar biasa. Artinnya, kedua sektor ini bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan mulplier effectnya pada sektor lain.

Investasi di sektor jasa nyaris tidak menuai kendala. Ia diterima karena sektor ini langsung terkait dengan sektor riil lainnya. Petaka muncul di sektor pertambangan. sektor ini mulai goyah tertimbun tumpukan kritikan dan hujatan.

Secara global, permintaan (demand) terhadap hasil-hasil pertambagan masih sangat tinggi, khususnya di negara-negara new emerging economic forces seperti China dan India. Permintaan ini mengakitkan harga hasil-hasil pertambangan di pasar internasional relatif sangat tinggi. Permintaan ini sampai juga ke daerah Manggarai. Manggarai memiliki kekayaan ekstraktif (tambang golongan B dan C) yang economically sangat mengutungkan.

Lalu dari manakah datangnya petaka itu?

Pemenang “Turner Tommorrow Award” Daniel Quinn dalam novelnya “Ismael” pernah bertanya demikian: bagaimana segala sesuatu menjadi seperti sekarang? Sepertinya pertanyaan ini lebih cocok ditanyakan kepada “pengambil keputusan” di dearah. “Pengambil keputusan” bertanggung jawab atas semua yang terjadi berkaitan dengan pengelolaan pertambangan.

Pengelolaan potensi pertambangan yang tidak transparan dan terkesan tertutup berujung pada kehacuran. Iklim demokarasi yang terus menyinari masyarakat memberi amunisi kepada masyarakat Manggarai untuk menuntut transparansi kinerja pemerintah terkait tambang. Di tengah harga hasil-hasil tambang yang melambung tinggi, pendapatan daerah yang berasal dari sektor pertambangan relatif kecil. Sumbangan sektor pertambangan tidak berpengaruh signifikan terhadap dompet daerah, PAD. Sektor ini justru memberikan eksternalitas. Kesehatan masyarakat sekitar terganggu. Pengrusakan lingungan hidup dan pencaplokan tanah ulayat. Mengingat, bagi masyarakat Manggarai, tanah bukan saja sebagai modal tetap produksi ekonomi rumah tangga tetapi memiliki nilai spirtual, keseimbangan kosmologi antara makrokosmos dan mikrokosmos. Eksternalitas ini membuat pemerintah haris menguras habis dompetnya untuk pembiayaan recovery kerusakan lingkungan dan infrastruktur yang terkait pertambangan. Besar pasak dari pada tiang. Masyarakat kecil yang merasakan deritanya, langsung baik tidak langsung.

Tambang memasuki pentas politik. Di tengah masyarakat transisi, pemerintah berani memainkan politik yang berwajah monolitik. Seperti sebuah kerajaan, raja kecil membuat keputusan tanpa melibatkan masyarakat. Pemerintah dan korporasi berselingkuh maka terjadilah statecorporatism. Korporasi dijadikan sapi perah. Lalu, keduanya bahu membahu mengekspolitasi kekayaan daerah, dalam hal ini tambang. Corporate social responsibiity (CSR) yang seadanya menjadi kain penyumbat mulut masyarakat sekitar pertambangan. Donasi pembangunan sebagian gereja menjadi gula pemanis bibir para klerus. Untunglah gereja (Institusi) tidak terlena dan sebagai sebauah kekuatan politis, gereja cepat tanggap akan domba sedang didera. Harapannya tongkat gembala masi dipegang dan tidak dijual kepada penyamun. Gereja pun diharakan tidak sibuk membersihkan tongkatnya hingga lupa akan fungsi tongkatnya.

Dua dari tiga kabupaten di Manggarai akan menjalani suksesi. Tambang menjadi menu politik. Boleh jadi, Tambang menjadi “tambang” amunisi bagi incument yang ingin mempertahankan kursi. Apalagi menu tambang memberikan sumbangsih energi yang sangat besar untuk siap di medan pertempuran politik. Sementara politisi yang hendak merebut “top leader” menjadikan tambang sebagai meterai. Meterai digunakan untuk mengadvokasi kebijakan pemerintah daerah yang koruptif dan malpraktek.

Politisasi tambang Manggarai menggeser esensi persoalan tambang itu sendiri. Seperti perkelahian para gajah yang merusakan tatanan ekosistem. Masyarakat kecil selalu menjadi korban dan masih menjadi korban. Masyarakat sipil menggugat. Pemerintah daerah harus bertanggung jawab atas semua kebijakannya bukan mencari pembenaran diri atau malah menghakimi masyarakat dan mengkambinghitamkan kelompok lain. Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan pertambangannya. Tambang yang bermasalah harus dicabut izin eksploitasi. Controling perlu harus diterapkan. Dan pemerintah perlu melakukan moratotium pertambangan sebab sesungguhnya pertambangan di Manggarai belum layak dilaksanakan dengan alasan distribusi yang tidak adil, sharing profit yang tidak transparan dan pemerintanhan yang koruptif.

Untuk menjamin kelancaran realisasi otonomi daerah, pemerintah perlu bersinergi dengan masyarakat, institusi agama (gereja), dan kekuatan politis lainya dalam merumuskan setiap kebijakan. Memang keputusannya sedikit lamban tapi itulah risiko sistem demokrasi yang kita pilih. Dan proses ini perlu untuk mewujudkan good governance di Manggarai. Pede dise empo: teu ca ambo neka woleng lako, muku ca pu’u neka woleng curu.

Alfred Tuname, juni 2009

Komentar