Eating is Politic?


Eating is politic?

Ketika bercerita tentang makanan dan minumam, saya teringat kembali akan ibuku yang tercinta. Ketika ingatan menggiringku pada masa childhood, di meja makan ibuku sering berkata “era nga’a, nga’a! era nginu, nginu!. Kalimat ini selalu teringat dalam pikiranku sebab repetisinya selalu ada di meja makan keluarga kami. Kalimat tersebut adalah kalimat imperatif yang dalam bahasa ibuku, bahasa Sabu, (maklum ibuku do hawu-orang Sabu) yang berarti ada makan, makan! Ada minum, minum! Tafsir atas kalimat tersebut adalah kesederhanaan dan rasa syukur atas hidangan. Makanlah apa yang ada (dasein), tak perlu menuntut yang berlebihan (dasollen). Makanan yang dihidangkan adalah jeri paya yang harus disyukuri. Kemurahan Sang Causa Prima yang kita cicipi. Untuk makan seharipun tidak semua orang mampu. Dan kita pun diajarkan untuk memohon rejeki kepada Sang Causa Prima… ponem nostrum cotidianum da nobis hodie (berilah kami rejeki pada hari ini).


Dalam politik, makanan juga membahasakan power. Eating is politic. Insan yang memiliki kekuasan selalu dihidangkan makanan yang special dalam setiap acara resepsi. Bukan Cuma itu, mereka dijuga didahulukan dalam perayaan itu. Dan sinergis dengan itu, tidaklah mengherankan jika nasi aking menjadi label orang marginal, miskin dan tak mampu. Orang yang makan makanan tersebut adalah orang marginal. Dan jika ada politisi yang mau berjibaku makanan tersebut adalah politisi yang mau merakyat. Kedengarannya sedikit aneh??

Sementara itu, di zaman orde baru terjadi homogenisasi makanan pokok. Beras menjadi bahan makan utama. Akibatnya, masyarakat yang makanan pokoknya umbi dan sagu dipaksa untuk bersawah. Seiring dengan itu, terjadi politisasi makanan pokok yaitu umbi dan sagu adalah makanan bagi orang tak mampu. Semoga saja, masa reformasi dan seterusnya, tidak ada lagi dikotomi dan labelisasi tersebut. Amin.

Di era globalisasi, makanan dengan label internasional sudah mulai menjajah makanan pribumi. Anehnya, makanan seperti Mc Donald, Pitzza hut, hamburger, hot dog menjadi hidangan dengan bungkusan yang prestise. Makanan tersebut diidentikan dengan mereka yang memiliki kekuasaan dalam ekonomi. Di sisi lain, makna yang tersirat dalam perilaku ini adalah kiblat budaya kearah western culture. Masalahnya adalah “cinta produk dalam negeri” hanyalah tinggal jargon tanpa makna. Cita rasa dalam negeri mulai sedikit demi sedikit ketinggalan rasa. Lalu, seberapa besar lagi devisa bangsa ini harus hilang? Apa benar kita tak mampu untuk mengurus urusan isi perut kita sendiri? Sepertinya nasionalisme tinggal kenangan. Sejarah penjajahan terulang kembali (le histoire se repete) dalam bentuknya yang sedikit malu-malu. Marilah kita menangis bersama-sama. (Alfred Tuname, 31 mei 2009)

Komentar