jogja dan persahabatan
Sejarah kita terajut dalam benang-benang yang saling-silang. Jejak yang mengait dan terkait. Masa lalu menajadi perekat. Dentumannya adalah lendir-lendir kental. Menyikut ujung demi ujung hingga kita tak lagi pisah. Jarak atau pun waktu. Pun ruang, hanyalah tempat kosong yang terpenjara. Andai saja ia tak pernah ada mungkin tak perlu kerinduan itu. Kata sahabat, ada bersama.
Sejarah kita adalah tembok-tembok ukir grafiti. Hampatan cerita yang tersketsa. Ada keyakinan semua itu masih ada dalam sanubari, hati dan pikiran. Ia ada dalam balutan perban yang pernah ada menyumbat luka dan sakit. Atau hanya taburan bunga pada pusaran jiwa yang telah bebas
Sejarah kita adalah persahabatan. Kata yang hanya didapat melalui lompatan-lompatan waktu yang terus berdering. Deringan itu derivasi lima menit fluit sebelum lonceng bermakna peringatan. Hidup adalah perjuangan. Vita est militia. Berjuang bersama untuk bersama. Visi: bonum comune. Tetap menjadi unik dalam pluribus. Kompetisi dalam kompetensi.
Sejarah kita akan menjadi sejarah masa lalu dan akan datang. Bentangan tanpa demarkasi. Test bagi kepercayaan dan kesetiaan pada kawanan. Terus dan terus berlangsung.
Rajut kebersamaan ada lagi di kota ini. Mei 2009 di kota yang berhati nyaman, Ngayogyakarta Hadiningrat. Rajutan yang membentuk kumparan cerita semoga tak berpontensi putus pun berhenti. Garis lurus bentang Parangtritis-Kraton-Tugu-Merapi pernah menjadi tapak bahwa kita sedang menuju pucak.
Harapannya seperti Sindetoscha, persahabatan bak kepompong, mengubah ulat menjadi kupu. Hingga akhirnya, ketika sayap kupu-kupu kita dikepakan akan terjadi badai tornado di California….
"A picture held us captive.
And we could not get outside of it,
for it lay in our language
and language seemed to repeat it to us inexorably."
(Ludwig Wittgenstein)
Komentar
Posting Komentar