AURELIUS ARELI ARTA
Uber der Arta?
Arta adalah seorang mahasiswa salah satu univesitas swasta. Ia adalah seorang mahasiswa idealis yang menaruh minat pada ilmu politik. Belajar ilmu politik membuatnya seakan mengenal dunia ini. Bahwa dunia ini sebenarnya adalah gabungan pertarungan kepentingan. Namun, justru tanpa itu dunia tidak akan eksis. Oleh sebab itu, Arta pun tekun menginternalisasikan teori-teori politik, mulai dari klasik hingga kontemporer. Menekuni politik berarti bergelut dengan kekuasaan. Korelasinya adalah luasnya pengetahuan. Bacon menjelaskan knowledge is power. Sebagai tambahan ia mempelajari ilmu filsafat. Seperti Platon, ia yakin bahwa belajar filsafat membuatnya lebih bijak untuk menghadapi kehidupan. Tekadnya adalah belajar sampai mati. Dengan itu, ia dapat tersenyum ketika ajal menjemput. Kadang-kandang hidup ini hanya divina comedia.
Arta diapresiasi teman-temannya sebagai sosok yang cerdas dengan kemampuan akademis. Ia memiliki kecerdasan sosial yang baik pula. Terbuka terhadap orang yang beda agama, suku, golongan dan jenis kelamin. Bisa kita sebut sebagai seorang pluralis. Arta juga adalah seorang aktivis yang terlibat dalam banyak organisasi dan lembaga studi.
Namun dengan sedkit rendah hati, ia mengakui bahwa dirinya sebenarnya tidak se-extraordinary seperti yang distempelkan oleh sahabatnya. Arta yakin bahwa di atas langit masi ada langit. Jadi, semua orang itu sama saja. Goblok sama-sama, cerdas sama-sama. Semua orang memiliki kelebihannya masing-masing. Everyone is unus. Asal saja orang harus rajin berusaha.
Selagi muda, Arta rajin melahap buku-buku yang bisa ia dapatkan. Dunia ini adalah universitas, menurutnya. Dan universitas sebenarnya adalah universitas yang selalu menambah koleksi bukunya. Ia ingin menjadi orang yang mengetahui apa yang dia ketahui dan ia tidak ketahui. Sebab orang yang bodoh adalah orang tidak tahu bahwa ia tidak tahu. Sudah bodoh rajin lagi. Dan untuk meraih apa yang diingin, arta selalu tekun belajar. Sebuah adagium lama yang selalu terngiang dalam pikirannya adalah preservation is the mother of success. Belajar itu sendiri berarti bertolak dari apa yang kita ketahui kepada yang kita tidak ketahui.
Arta juga manusia. Pribadinya terdiri dari dimensi yaitu rasio dan rasa. Dia pernah jatuh cinta atau boleh juga disebut jatuh suka. Rasa simpati yang begitu kuat terhadap lawan jenis. Setiap rasa itu muncul dari dasar peraduannya menjumpai permukaan wajah bercahaya, ia memaparkannya pada lembaran dan membran angin yang sudi mendengarkannya. Buku kecilnya berisi ribuan rintihan yang mencorat-coret kisi-kisi hatinya. Gampang-gampang susah rasanya kisah itu berlapuh pada empunya rasa tertuju itu. Begitu dasyat tornado yang menghempas sayap cintanya hingga tak mampu dia tiupkan terompet rasahatinya. Mungkin saja Arta takut kabar baik itu tidak diterima. Dalam keletihan dia hanya berdendang: “oh…Tuhan yang kuasa berilah petunjukMu betapa sedih kurasakan kasihku tak sampai…”. Lagu ini hanyalah bayangan ketukan Arta akan realitas yang akan dia hadapi. Hingga dalam kesendiriannya, ia bertanya apa itu cinta?
Kata orang cinta itu buta. Tapi mengapa cinta memiliki mata yang begitu terang melihat pantulan emas? Belum lagi cinta itu menjelma dalam tabiat yang berbeda-beda misalnya berupa sexus, eros,ludus dan lain-lain. benarkan itu cinta? Lalu cinta itu seperti apa? Hati-hatilah dengan kata cinta. Kadang-kadang cinta adalah sejenis terminologi seks yang diperhalus. Hati-hati juga dengan kalimat “I love you” sebab itu lebih cenderung berarti cintailah aku. Egoisme atas nama cinta. Yang jelas cinta tidak pernah terdefenisikan. Jika cinta bisa didefinisikan berarti itu bukan cinta melainkan salah satu dati jutaan kriteria untuk mencintai dan dicintai.
The Name of Rose
Dalam sebuah kesempatan, di sebuah situs Mrican, dalam ruang, situasi begitu gaduh. Gaduh yang memecah gelak tawa dan senyum. Kawan-kawan sedang asik berkisah tentang drama melankolis, Arta in love. Kedengarannya seperti Shakespeare in love. Mungkin juga seperti itu kisahnya. Kisah cinta pria dan wanita.
Dikatakan kisah itu berawal dari sebuah perkenalan.
“neka rabo, maaf, nama enu (sapaan untuk gadis Manggarai) siapa?”, tanya Arta kepada seorang gadis. “iyo kae (sapaan itu orang yang lebih tua), Kiranina Negrita”, jawab gadis itu sambil berjabatan tangan. Ketika berjabatan tangan, Arta mencoba memutar tangnnya sedemikian sehingga punggung tanganya berada di atas. Ini berarti naluri patrialkalnya muncul untuk mendominasi dna menguasai hati gadis itu. Kirania Negrita sering disapa Kira oleh sahabat-sahabatnya. Kira adalah seorang enu Manggarai yang juga sedang kuliah di salah satu universitas swasta. Kira memiliki postur tubuh yang agak pendek, berkulit putih bersih, berwajah manis berbentuk oval dengan rambut hitam bergelombang. Orangnya banyak berbicara dan memiliki sense of humor yang baik. Dengan singkat boleh dikatakan, Kira adalah gadis yang smart. Jika menilik ciri-ciri gadis ini, orang dapat menggugat bahwa apalah artinya sebuah nama? Kiranina Negrita, Kirenina yang hitam (Negrita, negros, niger=hitam) ternyata sangat berbeda dengan Kira dasein. Kisah perkenalan ini terjadi pada sebuah acara kelahiran sebuah kabupaten baru. Sejak itu, nama Kira bagaikan setangkai mawar yang selalu mekar di lapang hatinya. The name of rose adalah Kiranina Negrita.
The Methodology of Approximation
Enu neka rabo, pande apa ite?
Sebuah kalimat pertanyaan dilayangkan Arta dengan senyum yang mengikutinya. Komunikasi cyber tanpa intimasi coba ditawarkannya. SMS pun terbalas.
Toe manga pande apa-apa, nana. Asa ite?
Sebuah kalimat pendek terbaca. Arta mulai menaruh interpretasi pada kalimat tersebut. Kalimat berlimpah maksud. Apakah itu berarti ia menginginkan Arta untuk datang menemaninya? Apakah itu berarti sebuah ajakan agar Arta mampir ke tempatnya? Atau jangan-jangan Kira memang tak bermaksud apa-apa? Tanpa teden aling-aling Arta menulis penuh harap.
Eng, cama agu aku. toe manga pande apa ta…’nu. Cala nganceng mampir one kos dite?
Demikian sebuah permintaan untuk mampir meneguk kopi mane. Kopi Manggarai yang selalu dihidangkan kepada setiap tamu yang mampir. Ketika orang meminum kopi itu berarti orang telah “meminum” budaya Manggarai. Demikianlah kopi Manggarai yang memiliki makna yang tersurat dan tersirat.
Kira menyambut baik permintaan Arta. Mereka pun bercengkrama dan bersenda gurau dengan riang. Dalam keriangan, jantung Arta berdetak kencang. Arta tidak hanya ingin meminum kopi tetapi ada maksud terdalam dalam setiap kata dan senyuman dalam senda gurau itu. Arta ingin merangkul hati Kira dan tidur di bentangan hatinya yang lembut. Namun Arta tak mau terburu-buru. Ia yakin segala hal yang terburu-buru berasal dari setan. Ia masih menaruh logika pada setiap desakan hasrat yang membara. Hingga detik akhir malam itu, Arta pulang dengan sedikit senyum dan monolog; how can I tell you about my heart?
Hampir setiap awal hari dan akhir malam, Arta selalu mengirim kata-kata bijak dan peneguhan kepada enu Kira. Sebuah komunikais yang reciprocal. Kira pun membalasnya dengan kata-kata yang multitafsir. Jelas saja dada Arta semakin berdebar. Ia manganggap bahwa ini adalah signan. Sebuah track yang bagus. Arta pun sering berdendang repetisi yang putus-putus: ”…..oh Tuhan yang kuasa berilah petujukMu……”
Tidak berhenti di situ, Arta pun sering melakukan olahraga sore dengan joging ringan melewati kos Kira yang cukup jauh dari tempatnya. Entahlah apa maksud Arta? Yang jelas semua itu bagian dari strategi burung merak.
Dalam setiap kesempatan di berbagai acara bersama, Arta selalu menunjukan pesona dan skill nya mengolah kata. Dalam hatinya, ia yakin bahwa Enu Kira sedang memperhatikannya. Itulah liku-liku laki-laki yang sedang mendaki meraih hati pujaannya. Seperti seorang striker, ia mencoba meliuk-liuk dalam kotak enam belas sebuat shooting. Adalah sebuah kepuasan yang tak terkata ketika ia melihat reaksi Kira yang selalu tersenyum dan tertawa melihat ke arahnya. Dan seperti Al Pacino dalam Scent Of Women, ia berteriak; …..huuaaaahhhhhh…..
The End of Prologue
.....bersambung.......
Uber der Arta?
Arta adalah seorang mahasiswa salah satu univesitas swasta. Ia adalah seorang mahasiswa idealis yang menaruh minat pada ilmu politik. Belajar ilmu politik membuatnya seakan mengenal dunia ini. Bahwa dunia ini sebenarnya adalah gabungan pertarungan kepentingan. Namun, justru tanpa itu dunia tidak akan eksis. Oleh sebab itu, Arta pun tekun menginternalisasikan teori-teori politik, mulai dari klasik hingga kontemporer. Menekuni politik berarti bergelut dengan kekuasaan. Korelasinya adalah luasnya pengetahuan. Bacon menjelaskan knowledge is power. Sebagai tambahan ia mempelajari ilmu filsafat. Seperti Platon, ia yakin bahwa belajar filsafat membuatnya lebih bijak untuk menghadapi kehidupan. Tekadnya adalah belajar sampai mati. Dengan itu, ia dapat tersenyum ketika ajal menjemput. Kadang-kandang hidup ini hanya divina comedia.
Arta diapresiasi teman-temannya sebagai sosok yang cerdas dengan kemampuan akademis. Ia memiliki kecerdasan sosial yang baik pula. Terbuka terhadap orang yang beda agama, suku, golongan dan jenis kelamin. Bisa kita sebut sebagai seorang pluralis. Arta juga adalah seorang aktivis yang terlibat dalam banyak organisasi dan lembaga studi.
Namun dengan sedkit rendah hati, ia mengakui bahwa dirinya sebenarnya tidak se-extraordinary seperti yang distempelkan oleh sahabatnya. Arta yakin bahwa di atas langit masi ada langit. Jadi, semua orang itu sama saja. Goblok sama-sama, cerdas sama-sama. Semua orang memiliki kelebihannya masing-masing. Everyone is unus. Asal saja orang harus rajin berusaha.
Selagi muda, Arta rajin melahap buku-buku yang bisa ia dapatkan. Dunia ini adalah universitas, menurutnya. Dan universitas sebenarnya adalah universitas yang selalu menambah koleksi bukunya. Ia ingin menjadi orang yang mengetahui apa yang dia ketahui dan ia tidak ketahui. Sebab orang yang bodoh adalah orang tidak tahu bahwa ia tidak tahu. Sudah bodoh rajin lagi. Dan untuk meraih apa yang diingin, arta selalu tekun belajar. Sebuah adagium lama yang selalu terngiang dalam pikirannya adalah preservation is the mother of success. Belajar itu sendiri berarti bertolak dari apa yang kita ketahui kepada yang kita tidak ketahui.
Arta juga manusia. Pribadinya terdiri dari dimensi yaitu rasio dan rasa. Dia pernah jatuh cinta atau boleh juga disebut jatuh suka. Rasa simpati yang begitu kuat terhadap lawan jenis. Setiap rasa itu muncul dari dasar peraduannya menjumpai permukaan wajah bercahaya, ia memaparkannya pada lembaran dan membran angin yang sudi mendengarkannya. Buku kecilnya berisi ribuan rintihan yang mencorat-coret kisi-kisi hatinya. Gampang-gampang susah rasanya kisah itu berlapuh pada empunya rasa tertuju itu. Begitu dasyat tornado yang menghempas sayap cintanya hingga tak mampu dia tiupkan terompet rasahatinya. Mungkin saja Arta takut kabar baik itu tidak diterima. Dalam keletihan dia hanya berdendang: “oh…Tuhan yang kuasa berilah petunjukMu betapa sedih kurasakan kasihku tak sampai…”. Lagu ini hanyalah bayangan ketukan Arta akan realitas yang akan dia hadapi. Hingga dalam kesendiriannya, ia bertanya apa itu cinta?
Kata orang cinta itu buta. Tapi mengapa cinta memiliki mata yang begitu terang melihat pantulan emas? Belum lagi cinta itu menjelma dalam tabiat yang berbeda-beda misalnya berupa sexus, eros,ludus dan lain-lain. benarkan itu cinta? Lalu cinta itu seperti apa? Hati-hatilah dengan kata cinta. Kadang-kadang cinta adalah sejenis terminologi seks yang diperhalus. Hati-hati juga dengan kalimat “I love you” sebab itu lebih cenderung berarti cintailah aku. Egoisme atas nama cinta. Yang jelas cinta tidak pernah terdefenisikan. Jika cinta bisa didefinisikan berarti itu bukan cinta melainkan salah satu dati jutaan kriteria untuk mencintai dan dicintai.
The Name of Rose
Dalam sebuah kesempatan, di sebuah situs Mrican, dalam ruang, situasi begitu gaduh. Gaduh yang memecah gelak tawa dan senyum. Kawan-kawan sedang asik berkisah tentang drama melankolis, Arta in love. Kedengarannya seperti Shakespeare in love. Mungkin juga seperti itu kisahnya. Kisah cinta pria dan wanita.
Dikatakan kisah itu berawal dari sebuah perkenalan.
“neka rabo, maaf, nama enu (sapaan untuk gadis Manggarai) siapa?”, tanya Arta kepada seorang gadis. “iyo kae (sapaan itu orang yang lebih tua), Kiranina Negrita”, jawab gadis itu sambil berjabatan tangan. Ketika berjabatan tangan, Arta mencoba memutar tangnnya sedemikian sehingga punggung tanganya berada di atas. Ini berarti naluri patrialkalnya muncul untuk mendominasi dna menguasai hati gadis itu. Kirania Negrita sering disapa Kira oleh sahabat-sahabatnya. Kira adalah seorang enu Manggarai yang juga sedang kuliah di salah satu universitas swasta. Kira memiliki postur tubuh yang agak pendek, berkulit putih bersih, berwajah manis berbentuk oval dengan rambut hitam bergelombang. Orangnya banyak berbicara dan memiliki sense of humor yang baik. Dengan singkat boleh dikatakan, Kira adalah gadis yang smart. Jika menilik ciri-ciri gadis ini, orang dapat menggugat bahwa apalah artinya sebuah nama? Kiranina Negrita, Kirenina yang hitam (Negrita, negros, niger=hitam) ternyata sangat berbeda dengan Kira dasein. Kisah perkenalan ini terjadi pada sebuah acara kelahiran sebuah kabupaten baru. Sejak itu, nama Kira bagaikan setangkai mawar yang selalu mekar di lapang hatinya. The name of rose adalah Kiranina Negrita.
The Methodology of Approximation
Enu neka rabo, pande apa ite?
Sebuah kalimat pertanyaan dilayangkan Arta dengan senyum yang mengikutinya. Komunikasi cyber tanpa intimasi coba ditawarkannya. SMS pun terbalas.
Toe manga pande apa-apa, nana. Asa ite?
Sebuah kalimat pendek terbaca. Arta mulai menaruh interpretasi pada kalimat tersebut. Kalimat berlimpah maksud. Apakah itu berarti ia menginginkan Arta untuk datang menemaninya? Apakah itu berarti sebuah ajakan agar Arta mampir ke tempatnya? Atau jangan-jangan Kira memang tak bermaksud apa-apa? Tanpa teden aling-aling Arta menulis penuh harap.
Eng, cama agu aku. toe manga pande apa ta…’nu. Cala nganceng mampir one kos dite?
Demikian sebuah permintaan untuk mampir meneguk kopi mane. Kopi Manggarai yang selalu dihidangkan kepada setiap tamu yang mampir. Ketika orang meminum kopi itu berarti orang telah “meminum” budaya Manggarai. Demikianlah kopi Manggarai yang memiliki makna yang tersurat dan tersirat.
Kira menyambut baik permintaan Arta. Mereka pun bercengkrama dan bersenda gurau dengan riang. Dalam keriangan, jantung Arta berdetak kencang. Arta tidak hanya ingin meminum kopi tetapi ada maksud terdalam dalam setiap kata dan senyuman dalam senda gurau itu. Arta ingin merangkul hati Kira dan tidur di bentangan hatinya yang lembut. Namun Arta tak mau terburu-buru. Ia yakin segala hal yang terburu-buru berasal dari setan. Ia masih menaruh logika pada setiap desakan hasrat yang membara. Hingga detik akhir malam itu, Arta pulang dengan sedikit senyum dan monolog; how can I tell you about my heart?
Hampir setiap awal hari dan akhir malam, Arta selalu mengirim kata-kata bijak dan peneguhan kepada enu Kira. Sebuah komunikais yang reciprocal. Kira pun membalasnya dengan kata-kata yang multitafsir. Jelas saja dada Arta semakin berdebar. Ia manganggap bahwa ini adalah signan. Sebuah track yang bagus. Arta pun sering berdendang repetisi yang putus-putus: ”…..oh Tuhan yang kuasa berilah petujukMu……”
Tidak berhenti di situ, Arta pun sering melakukan olahraga sore dengan joging ringan melewati kos Kira yang cukup jauh dari tempatnya. Entahlah apa maksud Arta? Yang jelas semua itu bagian dari strategi burung merak.
Dalam setiap kesempatan di berbagai acara bersama, Arta selalu menunjukan pesona dan skill nya mengolah kata. Dalam hatinya, ia yakin bahwa Enu Kira sedang memperhatikannya. Itulah liku-liku laki-laki yang sedang mendaki meraih hati pujaannya. Seperti seorang striker, ia mencoba meliuk-liuk dalam kotak enam belas sebuat shooting. Adalah sebuah kepuasan yang tak terkata ketika ia melihat reaksi Kira yang selalu tersenyum dan tertawa melihat ke arahnya. Dan seperti Al Pacino dalam Scent Of Women, ia berteriak; …..huuaaaahhhhhh…..
The End of Prologue
.....bersambung.......
Saya suka sekali membacanya, di tunggu sambungannya nana...Maria:-)
BalasHapusoke...deh....
BalasHapus