PEMBERDAYAAN POLITIK MANGGARAI TIMUR•
Oleh Gregorius Sahdan•
Dalam Seminar Tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Timur
Pengantar
Tanggal 17 Juli 2007 lalu, merupakan momentum bersejarah bagi masyarakat Manggarai Timur. Pemerintah bersama dengan DPR-RI mengesahkan Manggarai Timur sebagai calon Kabupaten baru—terlepas dari induknya—Kabupaten Manggarai. Keputusan pemerintah tersebut merupakan sebuah langkah progress, mengingat pengesahan Kabupaten Manggari Timur sebagai salah satu Daerah Kabupaten di Indonesia—telah menghadapi proses dan perjuangan politik yang cukup panjang. Perjuangan ini, walaupun tidak seberat dalam memperjuangkan pemekaran Kabupaten Manggarai Barat, tetapi tetap penting untuk mendapatkan apresiasi dan respons publik. Apresiasi dan respons publik, perlu diletakan dalam pertanyaan besar—apa yang harus dilakukan multipihak setelah perjuangan pemekaran tersebut terpenuhi dan diberikan oleh pemerintah pusat?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Data yang dikeluarkan oleh KPPOD, LP3ES dan Kompas tahun 2007 menunjukkan bahwa umumnya daerah pemekaran baru menghadapi beberapa persoalan mendasar; pembangunan ekonomi yang tidak terarah—tidak jelas, pendidikan dan kesehatan masyarakat yang kurang terurus, birokrasi yang korup, suprastruktur dan infrastruktur politik yang lemah—tidak berdaya (DPRD, Partai Politik dan KPUD), kesadaran politik masyarakat yang rendah, budaya politik masyarakat yang rendah (cendrung menghadirkan konflik dan pertikaian pasca pemekaran), munculnya kandidat kepala daerah yang miskin program—tidak memiliki visi dan misi yang jelas, kapabilitas, kompetensi dan keterampilan politik masyarakat yang rendah, tradisi dan kultur politik yang kurang santun dan tidak demokratis (saling menjegal) dan sebagainya. Atas semua persoalan tersebut, maka penting sekali untuk melakukan pemberdayaan politik atau political empowerment.
Pemberdayaan politik sangat penting, karena kebijakan pemekaran merupakan kebijakan politik yang harus dilihat dalam frame—adanya keinginan multipihak (pemerintah, swasta dan masyarakat) untuk mempercepat perwujudan kesejahteraan masyarakat, membebaskan masyarakat dari kemiskinan dan busung lapar, memperbaiki layanan publik di aras lokal, meningkatkan investasi dan pembangunan ekonomi, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat, menjamin terselenggaranya tatanan pemerintahan yang baik dan demokratis (good and democratic governance), meminimalkan terjadinya KKN dan penyelewengan kekuasaan, mendorong efektivitas dan efisiensi birokrasi publik yang semakin baik, mendekatkan hubungan pemerintah dengan masyarakat, memperbaiki kualitas layanan publik dan ketersediaan public goods bagi masyarakat (jalan raya beraspal, rumah sakit dan puskesmas yang terjangkau, penerangan listrik yang murah, air bersih yang tersedia bagi semua rumah tangga), akses dan partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kebijakan pemerintah, kesempatan berusaha yang mudah, perbaikan gizi dan pemenuhan kebutuhan ibu hamil dan melahirkan, dan sebagainya.
Data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Satistik (BPS) dan Bappenas tahun 2005 dan 2007 dan Kompas tahun 2007 menunjukkan bahwa Kabupaten Manggarai relatif menglami sejumlah persoalan dalam hal; kemiskinan dan busung lapar, layanan publik yang kurang baik (Sekolah Rusak, Rumah Sakit Rusak, Puskesmas Rusak dan sebagainya), investasi dan pembangunan ekonomi yang tidak terarah dan tidak jelas; tatanan pemerintahan yang kurang baik dan tidak demokratis (terjadi inequality), terjadi penyelewengan dan penyalagunaan kekuasaan (KKN masih ada), public goods yang sulit terpenuhi (air bersih, listrik, jalan beraspal), akses dan partisipasi masyarakat yang rendah dalam kebijakan pemerintah, birokrasi yang arogan (masih menunggu instruksi), suprastruktur dan infrastruktur politik yang lemah (DPRD 4d dan 5d, parpol sentral korupsi, birokrasi yang kumpulan anak, menantu, ipar, istri) dan sebagainya.
Berdasarkan data resmi Bappenas 2005, ada sekitar 58,72% masyarakat di Kabupaten Manggarai yang hidup di bawah garis kemiskinan (NTT 16,66%, nasional 16,66%) dari total penduduk Manggarai yang mencapai 482.339 jiwa (data terakhir versi Kompas 2007 sudah mencapai 603.000 jiwa). Lihat Grafik Berikut:
Penduduk miskin tersebar di 12 kecamatan, 27 kelurahan dan 227 desa yang ada di Kabupaten Manggarai. Jika dibuat skala 1-6 dengan ketentuan 1-2 kemsikinan rendah, 3-4 kemiskinan sedang dan 5-6 kemiskinan tinggi atau sangat miskin, maka proporsi penduduk kabupaten Manggarai yang sangat miskin ada di Kecamatan Satarmese (7501-7503), kemiskinan sedang Mborong, Ruteng, Cibal, Elar, Lambaleda dan Reo (3001-7500) dan kemiskinan rendah ada di Kecamatan Waerii, Sambi Rampas dan Kota Komba (1575-4500) jiwa penduduk. Untuk jelasnya, lihat grafik berikut ini.
Data yang lain juga menunjukkan bahwa terdapat akses yang terbatas untuk memperoleh dan melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Kabupaten Manggarai, akses dan kesempatan perempuan yang terbatas mulai dari sekolah dasar, akses dan partisipasi perempuan yang terbatas di DPRD, dan persentase masyarakat yang menderita berbagai penyakit yang masih tinggi.
Untuk Persentase partisipasi di SMP, Kabupaten Manggarai baru mencapai 51,3% (NTT 38,7%, Nasional 71,8%), Partisipasi Perempuan di SD hanya mencapai 45,1% (NTT 44,4%, nasional 48%), Persentase Partisipasi perempuan di SMP di Kabupaten Manggarai baru mencapai 39,63% (NTT 45,82%, Nasional 49,6%), Persentase Partisipasi Perempuan di DPRD hanya mencapai 6,7% di bawah kuota 30% (NTT 10,4%, Nasional 11,0%), Persentase kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan mencapai 36,66% (NTT 46,11%, Nasional 70,9%), Angka kematian ibu melahirkan 553 orang per tahun (NTT 330, Nasional 307), dan persentase masyarakat di Kabupaten Manggarai yang meninggal karena penyakit Malaria mencapai 63,96% (NTT 26,1%, Nasional 13,4%). Untuk jelasnya lihat grafik berikut ini;
Dari total APBD kabupaten Manggarai yang mencapai 400 milyar rupiah per tahun, (APBD 2006) menunjukkan bahwa komitmen terhadap pemberdayaan politik masih sangat lemah. Hal ini ditunjukkan dengan alokasi penggunaan anggaran yang masih diprioritaskan untuk hal-hal yang kurang berhubungan langsung dengan peningkatan kualitas hidup dan kapasitas masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dari format penggunaan anggaran APBD Kabupaten Manggarai tahun 2007 terlihat sekali bahwa untuk belanja pegawai, oprasional pegawai dan pengadaan fasilitas birokrasi hampir mencapai 39%, pendidikan 30%, pekerjaan umum 22%, kesehatan 7% dan pertanian 2%. Untuk jelasnya lihat grafik berikut.
Prioritas penggunaan anggaran yang tidak mengarah pada pemberdayaan politik masyarakat (peningkatan skil, akses dan partisipasi), sangat mempengaruhi akses dan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik.
Berdasarkan data yang diterbitkan oleh LP3Es dan Kompas tahun 2006, angka partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik di Kabupaten Manggarai baru mencapai 30%. Ini cukup jauh dengan komposisi partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik secara nasional yang sudah mencapai 70%. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik, menurut saya lebih banyak disebabkan oleh bekerjanya state corporatism dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Manggarai yang ditandai oleh; (1) dominasi birokrasi dalam pengambilan kebijakan; (2) massa sengaja disingkirkan dari arena kebijakan publik—untuk menghindari kritikan dan perlawanan masyarakat terhadap bekerjanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pemerintahan; (3) kelas menengah dan pengusaha lokal yang lebih banyak tergantung pada koneksi politik dengan birokrasi lokal.
Hasil penelitian Praktikno tahun 2006 menunjukkan bahwa korporatisme negara di Provinsi NTT, khususnya di Kabupaten Manggarai ditunjukkan oleh besarnya cengkaraman dan dominasi birokrasi dalam proses politik. Kuatnya peran birokrasi ini ditunjukkan oleh lemahnya pengawasan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, rendahnya kapasitas DPRD dalam mengontrol jalannya pemerintahan dan terpasungnya partai politik dalam mengendalikan jalannya pemerintahan. Pemerintahan di Kabupaten Manggarai pun, minus pengawasan dan kontrol masyarakat sipil. Tidak heran jika birokrasi di Kabupaten Manggarai menjadi kekuatan politik yang sangat dominan. Birokrasi memperoleh basis material kekuasaannya dari APBN (APBD) yang dengan bantuan kapitalis lokal dan bekerjasama dengan negara, menggunakan sumber material (pajak rakyat) untuk mengakumulasi kapital.
State Corporatism di Kabupaten Manggarai dengan sengaja memberikan ruang bagi kemiskinan yang merajalela—karena terjadi penyalagunaan uang negara—yang seharusnya untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat, malah yang terjadi lebih banyak dipakai untuk kepentingan birokrasi. Karakter umum birokrasi di Kabupaten Manggarai juga, lebih banyak menghabiskan uang—tetapi tidak berpikir tentang bagaimana caranya mendapat uang untuk pembiayaan pembangunan. Akibatnya, masyarakat terus hidup di bawah garis kemiskinan dan busung lapar.
Dari aspek kapasitas lembaga-lembaga politik, kamampuan lembaga-lembaga politik di Kabupaten Manggarai juga masih sangat rendah. Hal ini sangat mempengaruhi, kualitas pelayanan publik, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan dalam menyediakan public goods yang dibutuhkan masyarakat. Berdasarkan data yang ada, kapasitas birokrasi baru mencapai 44,4%, DPRD 35%, Partai Politik 40% dan KPUD 40%. Nampak bahwa kualitas lembaga-lembaga politik tersebut cukup diragukan untuk mengambil peran sentral dalam mengatasi persoalan masyarakat dan bahkan dalam berbagai kesempatan justru lebih banyak menghadirkan persoalan ketimbang menyelsaikan masalah. Walaupun birokrasi menunjukkan persentase yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga politik yang lain, tetapi secara nasional, kualitas lembaga-lembaga politik ini sangatlah rendah.
Kapasitas ini diukur dari kemampuan membuat regulasi, mendistribusikan berbagai sumber daya, mengoptimalkan peranserta masyarakat, kecepatan dalam merespons persoalan-persoalan masyarakat dan kemampuan dalam mengatasi konflik. Birokrasi nampak lemah dalam memobilisasi sumber daya, merespons persoalan aktual masyarakat, menyediakan public goods yang diperlukan masyarakat, menyediakan regulasi yang tepat dan dalam mendistribusikan dan mengorganisir kebutuhan masyarakat. DPRD lemah dalam membuat Perda dan KPUD lemah dalam mengelola konflik yang ditimbulkan akibat pilkada. Selengkapnya, lihat grafik berikut.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Lembaga Transparansi Internasional tahun 2006, di tingkat nasional, lembaga yang paling korup adalah partai politik, sementara di Kabupaten Manggarai, lembaga yang paling korup adalah birokrasi, menyusul DPRD dan Partai Politik. Data tersebut tentu saja bisa membantu untuk menjelaskan bahwa persoalan pokok dalam melakukan pemberdayaan politik adalah bagaimana meminimlakan terjadinya korupsi dan penyalagunaan kekuasaan yang terjadi dalam tubuh pemerintahan. Minimalisasi KKN, mesti dimulai dari usaha untuk menyediakan arena bagi masyarakat dalam pemerintahan dan disertai juga dengan peningkatan keterampilan politik masyarakat dalam mengontrol dan mengendalikan pemerintah. Selanjutnya lihat grafik berikut.
Di sinilah pemberdayaan politik memainkan peran sentral. Disamping untuk meminimalkan terjadinya KKN dan penyelewengan kekuasaan, juga untuk memastikan seberapa besar komitmen kebijakan dan kinerja lembaga-lembaga politik terhadap pelayanan publik, tatanan pemerintahan yang baik dan terutama terhadap kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat.
Alur Pemberdayaan Politik
Bagaimana kita melakukan pemberdayaan politik di calon Kabupaten Manggarai Timur? Bagaimana format (alur) pemberdayaan politik untuk Kabupaten Manggarai Timur? Dan siapa kelompok atau individu yang menjadi sasaran pemberdayaan politik itu? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu memulai dari pemahaman terhadap apa yang dimaksud dengan pemberdayaan politik (political empowerment). Menurut Lucian Pye (1963) pemberdayaan politik berhubungan dengan peningkatan peranserta dan peningkatan kualitas dan keterampilan masyarakat dalam sistem politik. Bank Dunia (2006) mendefinisikan pemberdayaan politik sebagai keikutsertaan dan partisipasi multipihak, terutama kaum perempuan dan kelompok miskin dalam proses politik dan pengambilan kebijakan publik. Sementara banyak pakar yang lain—semacam Samuel P. Huntington, Goran Hyden, Almond, Powell, Larry Diamond, David Held, Archon Fung, Douglass C. North, B. Guy Peters, Graeme Gill, Kevin Mattson dan sebagainya, mendefinisikan pemberdayaan politik sama dengan; pembangunan politik, penerapan prinsip good governance, institusionalisasi politik, penguatan tatanan pemerintahan yang demokratis, peningkatan kapasitas lembaga-lembaga politik, pendalaman demokrasi (deepening democracy), penguatan demokrasi (reinforcement democracy), pertumbuhan demokrasi di negara-negara berkembang (democratic growth), pemenuhan hak-hak dasar rakyat, perbaikan layanan publik dan penyediaan public goods, peningkatan akses dan partisipasi masyarakat dalam proses politik dan kebijakan, perubahan sikap dan tingkahlaku masyarakat berhubungan dengan lembaga-lembaga politik, penambahan skil dan keterampilan politik masyarakat.
Dengan demikian, pemberdayaan politik sebenarnya mencakup; (1) pembangunan politik; (2) penerapan prinsip good governance; (3) institusionalisasi politik; (4) penguatan tatanan pemerintahan yang demokratis; (5) peningkatan kapasitas lembaga-lembaga politik; (6) pendalaman demokrasi (demokrasi deliberatif); (6) penguatan demokrasi; (7) pemenuhan hak-hak dasar rakyat (ekonomi, sosial dan politik); (8) perbaikan layanan publik dan penyediaan public goods; (9) peningkatan akses dan partisipasi masyarakat; (10) perubahan sikap dan tingkahlaku politik (bergeser dari tradisionalitas ke rasionalitas); (11) dan peningkatan skil dan keterampilan politik masyarakat.
Menurut Samuel P. Huntington, pembangunan politik mencakup; (1) rasionalisasi kekuasaan yang mengarah pada pergantian sejumlah besar pejabat-pejabat politik tradisional, etnis, keagamaan dan kekeluargaan oleh kekuasaan yang bersifat sekuler. Di sini menunjukkan bahwa kekuasaan merupakan produk kerja manusia, bukan wahyu ilahi atau produk alam; (2) diferensiasi fungsi politik dan spesialisasi struktur sesuai dengan kapasitas masing-masing individu; (3) peningkatan peran serta masyarakat dalam proses politik dan kebijakan publik (Huntington, 1992). Penerapan prinsip good governance berhubungan dengan; (1) respons pemerintah daerah terhadap persoalan masyarakat; (2) partisipasi dan akses masyarakat dalam pemerintahan; (3) transparansi anggaran dan kebijakan publik; (4) akuntabilitas kekuasaan; (5) efektivitas dan efisiensi program dan anggaran negara; (6) inovasi dan kretaivitas masyarakat dan pemerintah. Institusionalisasi politik berhubungan dengan; (1) peningkatan kapasitas dan keterampilan individu dalam berpolitik; (2) peningkatan kualitas dan keterampilan lembaga politik dalam sistem politik; (3) pergeseran nilai dan prilaku politik. Penguatan tatanan pemerintahan yang demokratis mencakup; (1) akses dan partisipasi masyarakat dalam proses politik dan kebijakan publik; (2) kontestasi politik yang egaliter dan sekuler; (3) keterlibatan perempuan dan kaum miskin dalam pengambilan kebijakan dan pengelolaan pemerintahan yang berbasis pada prinsip-prinsip demokrasi. Penguatan demokrasi mencakup; penghargaan terhadap hak-hak dasar masyarakat; perbaikan layanan publik, pengadaan public goods dan sebagainya.
Dengan demikian arena utama pemberdayaan politik sebenarnya mengarah pada; (1) aspek pendidikan untuk meningkatkan keterampilan dan daya literasi masyarakat terhadap sistem politik;(2) ekonomi untuk memberikan jaminan hidup dan kesejahteraan bagi masyarakat; (3) arena politik untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis. Huntington percaya bahwa pendidikan merupakan instrumen utama untuk melahirkan masyarakat yang santun, kritis dan demokratis. Sementara arena ekonomi dipandang Barington Moore sebagai tonggak dasar pertumbuhan borjuasi—pengusaha lokal yang menjadi basis dari demokrasi modern. Barington Moore mengatakan ”no bourgeois no democracy”. Demokrasi hanya bisa tumbuh di atas borjuasi (pengusaha) dan kelas menengah yang kuat. Tanpa itu, demokrasi akan menjadi berantakan, penuh konflik dan tidak terarah.
Sejalan dengan kebijakan pemekaran Kabupaten Manggarai Timur, maka dalam waktu dekat, Kabupaten Manggarai Timur akan mengalami; Pertama, pembangunan politik yang menyertakan rasionalisasi, diferensiasi dan partisipasi masyarakat dalam sistem politik. Rasionalisasi dilakukan dengan cara mutasi dan rekrutmen PNS untuk ditempatkan di Kabupaten Manggarai Timur. Rasionalisasi ini, tentu saja dilakukan berdasarkan kebutuhan di Kabupaten Manggarai Timur. Akan banyak sekali lowongan dan ketersediaan kesempatan kerja dalam birokrasi pemerintah. Rasionalisasi tersebut menuntut diferensiasi dan spesialisasi tugas dan fungsi yang lebih rasional. Di sisi lain, terbuka lebar arena partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam proses politik. Kedua, akan muncul tuntutan dan kebutuhan untuk menerapkan prinsip good governance dalam penyelenggaraan pemerintaha—sebagai konsekuensi dari pemekaran yang menuntut kualitas layanan publik, pemenuhan kesejahteraan rakyat dan penyediaan public goods yang lebih berkualitas. Ketiga, munculnya institusi-institusi politik baru semisal KPUD, partai politik, DPRD dan birokrasi yang memainkan peran sentral dalam kontestasi politik—ini menuntut adanya kapasitas, keterampilan dan sikap politik yang lebih rasional. Keempat, tuntutan untuk memperkuat tatanan pemerintahan yang demokratis—dimana keterlibatan perempuan dan kaum miskin dalam pengambilan kebijakan sangat diperhitungkan.
Kondisi Riil Manggarai Timur
Pemekaran Kabupaten Manggarai Timur, diwarisi sejumlah persoalan akut oleh kabupaten induknya-Manggarai. Persoalan akut tersebut berhubungan dengan kemiskinan kronis (busung lapar), kesehatan rentan, pendidikan rendah, public goods yang kurang berkualitas (jalan raya rusak dan berlubang-lubang, rumah sakit rusak, sekolah rusak, air bersih tidak tersedia, listrik yang tidak ada), dan layanan publik yang kurang prima.
Persoalan-persoalan tersebut, sebenarnya merupakan produk dari state corporatism yang selama ini sangat dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Manggarai. Korporatisme negara ini terjadi dalam bentuk: Pertama, dominasi birokrasi dalam proses politik dan pembangunan. Arena politik menjadi ruang kontestasi yang hanya melibatkan peranserta birokrasi. Tidak heran apabila, setiap kepala daerah di Kabupaten Manggarai, selalu berasal dari birokrasi. Disamping kultur politik yang memberikan kepercayaan kepada birokrasi, juga terdapat keengganan birokrasi untuk merelakan arena politik kepada masyarakat—nonbirokrasi.
Kedua, tersingkirnya masyarakat secara sistematis dalam proses politik dan kebijakan publik—Ini mengakibatkan tidak hadirnya kontrol dan pengawasan masyarakat atas kinerja pemerintah. Kita menyaksikan bahwa kinerja pemerintah Kabupaten Manggarai sangat lemah dalam menyediakan public goods dan dalam memberikan layanan publik yang berkualitas bagi masyarakat. Dimana-mana masyarakat Manggarai kesulitan akses ke kota—karena kurang tersedianya jalan raya yang beraspal, kurangnya air bersih, tidak tersedianya listrik, rumah sakit yang tidak terjangkau dan sekolah-sekolah dasar yang mirip “kandang ayam”. Fenomena tersbut—tidak masuk akal jika disebabkan oleh keterbatasan APBD—selain disebabkan oleh penyalagunaan APBD akibat lemahnya kontrol dan pengawasan masyarakat.
Ketiga, lembaga-lembaga politik lain di luar birokrasi seperti partai politik dan DPRD, sengaja diperlemah dan direpotkan oleh pertentangan internal untuk memudahkan mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan birokrasi. Usaha untuk melemahkan DPRD dan partai politik dilakukan dengan cara membagi-bagi hasil korupsi APBD yang dilakukan secara bersama dengan pemerintah, memberikan kesempatan kepada anggota DPRD untuk melakukan studi banding dan bahkan menyediakan arena 3B (bar, bir, bor) bagi anggota DPRD dan partai politik. Dalam kasus studi banding yang dilakukan oleh anggota DPRD pada waktu yang lalu ke Yogyakarta—ada kesan yang kuat bahwa studi banding itu dilakukan untuk menyediakan fasilitas 3B kepada anggota DPRD—sebagai upah dari kritikan dan penolakan atas hasil pilkada.
Keempat, borjuasi, kelas menengah dan masyarakat sipil di Kabupaten Manggarai merupakan “silent majority”—karena menikamti sumber materil yang sama dari birokrasi. Umumnya borjuasi lokal di Kabupaten Manggarai tumbuh dari hubungan baiknya dengan birokrasi—sehingga lebih muncul sebagai client capitalism atau kapitalisme kroni yang tidak memiliki modal investasi yang cukup kuat. Modal diperoleh akibat konsi politik dan kerjasama yang intens dengan pejabat di dalam birokrasi. Hasil penelitian Praktikno (2006) menunjukkan bahwa birokrasi di Kabupaten Manggarai muncul sebagai rent seekers atau pemburu rente yang dengan keterampilan politiknya memanfaatkan sumber daya negara (hasil pajak rakyat/APBD) untuk mengakumulasi kapital. Akumulasi kapital dilakukan dengan cara melakukan korporatisasi dan kerjasama yang intensif dengan pengusaha lokal. Dengan kata lain, sebagian besar dana APBD dicuri dengan cara memberikan proyek kepada kolega mereka yang disebut dengan pengusaha lokal—yang sebenarnya pengusaha lokal tersebut tidak memiliki modal sendiri—tetapi mengandalkan proyek yang diberikan secara khusus oleh pejabat dalam pemerintahan. Pemberian proyek baik dilakukan dengan mekanisme tender, maupun tanpa tender, dengan memilahkan terlebih dahulu konsi politik atau bukan.
Menghadapi sejumlah persoalan tersebut, maka agenda pembedayaan politik yang perlu dilakukan di Kabupaten Manggarai Timur adalah; (1) membuka akses dan partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam bidang pendidikan—supaya tidak mudah dimanipulasi dan dimobilisasi oleh kekuatan birokrasi dalam politik—pada level kultural model ini akan menghancurkan indoktrinasi yang ditanamkan kaum birokrat di Kabupaten Manggarai yang menganggap bahwa PNS sebagai posisi yang paling strategis dan terpandang dalam masyarakat—padahal nyata bahwa di Kabupaten Manggarai—menjadi PNS berpeluang untuk mengeksploitasi dan membodohi masyarakat untuk kepentingan terselubung—kekuasaan dalam pemerintahan; (2) mendorong dan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk berwirausaha—ini untuk mendidik masyarakat agar tidak tergantung pada pemerintah—pada level kutural ini bisa menghancurkan budaya rent seekers atau kapitalis komprador yang melakukan kegiatan ekonomi karena adanya koneksi dengan pejabat pemerintah; (3) memperkuat kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil bagian dalam sistem politik—mendorong sebanyak mungkin masyarakat yang cerdas dan kritis agar mau menjadi anggota DPRD, Partai Politik dan KPUD—ini untuk meningkatkan peranserta masyarakat lokal dalam proses politik—pada level kultural hal ini bisa berpengaruh terhadap hancurnya budaya politik parokial dan subjektif yang masih kuat berakar dalam masyarakat Manggarai Timur—penguatan kapasitas masyarakat dilakukan dengan cara mendidik dan melatih masyarakat untuk tahu dan mengerti tentang cara kerja pemerintah, partai politik, DPRD, KPUD dan terutama dalam membuat regulasi dan kebijakan publik yang berhubungan dengan masyarakat; (4) memperkuat kapasitas masyarakat dalam mengontrol dan mengawasi pemerintah daerah—ini untuk memperkecil dan meminimalkan penyalagunaan kekuasaan—secara kultural untuk menciptakan clean and good government; (5) meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam membuat regulasi, mendistribusikan berbagai sumber daya, menyediakan public goods, menata dan mengelola pemerintahan dengan baik, mampu merespons persoalan-persoalan masyarakat dan bertanggunghawab; (6) memperkuat kapasitas DPRD dalam membuat regulasi, mengendalikan anggaran pemerintah, mengawasi kinerja pemerintah daerah dan dalam mengadvokasi persoalan-persoalan masyarakat; (7) memperkuat kapasitas NGO dan pengusaha-pengusaha lokal untuk mengambil bagin sentral dalam pengelolaan pemerintahan; (8) mendidik masyarakat, pemerintah, DPRD, KPUD dan pengusaha lokal agar menjadi patner multipihak dalam membangun dan menjalankan pemerintahan daerah; (9) memperkuat akses masyarakat terhadap pelayanan publik dan menjamin hak-hak ekonomi, politik dan sosial mereka bisa terpenuhi oleh pemerintah secara layak; (10) memperkuat kapasitas perempuan dan kaum miskin agar memperoleh prioritas dalam kebijakan ekonomi dan politik; (11) menggalakkan komitmen dan kerjsama multipihak untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, bebas dari KKN dan bertanggungjawab dalam memenuhi hak-hak dasar masyarakat.
Dengan serangkaian agenda tersebut, apabila dilakukan dengan serius, disertai dengan komitmen yang tulus—maka harapan pemekaran Manggarai Timur menjadi kabupaten yang makmur, adil dengan pemerintahan yang bersih—cepat atau lambat akan terwujud.***
Oleh Gregorius Sahdan•
Dalam Seminar Tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Timur
Pengantar
Tanggal 17 Juli 2007 lalu, merupakan momentum bersejarah bagi masyarakat Manggarai Timur. Pemerintah bersama dengan DPR-RI mengesahkan Manggarai Timur sebagai calon Kabupaten baru—terlepas dari induknya—Kabupaten Manggarai. Keputusan pemerintah tersebut merupakan sebuah langkah progress, mengingat pengesahan Kabupaten Manggari Timur sebagai salah satu Daerah Kabupaten di Indonesia—telah menghadapi proses dan perjuangan politik yang cukup panjang. Perjuangan ini, walaupun tidak seberat dalam memperjuangkan pemekaran Kabupaten Manggarai Barat, tetapi tetap penting untuk mendapatkan apresiasi dan respons publik. Apresiasi dan respons publik, perlu diletakan dalam pertanyaan besar—apa yang harus dilakukan multipihak setelah perjuangan pemekaran tersebut terpenuhi dan diberikan oleh pemerintah pusat?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Data yang dikeluarkan oleh KPPOD, LP3ES dan Kompas tahun 2007 menunjukkan bahwa umumnya daerah pemekaran baru menghadapi beberapa persoalan mendasar; pembangunan ekonomi yang tidak terarah—tidak jelas, pendidikan dan kesehatan masyarakat yang kurang terurus, birokrasi yang korup, suprastruktur dan infrastruktur politik yang lemah—tidak berdaya (DPRD, Partai Politik dan KPUD), kesadaran politik masyarakat yang rendah, budaya politik masyarakat yang rendah (cendrung menghadirkan konflik dan pertikaian pasca pemekaran), munculnya kandidat kepala daerah yang miskin program—tidak memiliki visi dan misi yang jelas, kapabilitas, kompetensi dan keterampilan politik masyarakat yang rendah, tradisi dan kultur politik yang kurang santun dan tidak demokratis (saling menjegal) dan sebagainya. Atas semua persoalan tersebut, maka penting sekali untuk melakukan pemberdayaan politik atau political empowerment.
Pemberdayaan politik sangat penting, karena kebijakan pemekaran merupakan kebijakan politik yang harus dilihat dalam frame—adanya keinginan multipihak (pemerintah, swasta dan masyarakat) untuk mempercepat perwujudan kesejahteraan masyarakat, membebaskan masyarakat dari kemiskinan dan busung lapar, memperbaiki layanan publik di aras lokal, meningkatkan investasi dan pembangunan ekonomi, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat, menjamin terselenggaranya tatanan pemerintahan yang baik dan demokratis (good and democratic governance), meminimalkan terjadinya KKN dan penyelewengan kekuasaan, mendorong efektivitas dan efisiensi birokrasi publik yang semakin baik, mendekatkan hubungan pemerintah dengan masyarakat, memperbaiki kualitas layanan publik dan ketersediaan public goods bagi masyarakat (jalan raya beraspal, rumah sakit dan puskesmas yang terjangkau, penerangan listrik yang murah, air bersih yang tersedia bagi semua rumah tangga), akses dan partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kebijakan pemerintah, kesempatan berusaha yang mudah, perbaikan gizi dan pemenuhan kebutuhan ibu hamil dan melahirkan, dan sebagainya.
Data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Satistik (BPS) dan Bappenas tahun 2005 dan 2007 dan Kompas tahun 2007 menunjukkan bahwa Kabupaten Manggarai relatif menglami sejumlah persoalan dalam hal; kemiskinan dan busung lapar, layanan publik yang kurang baik (Sekolah Rusak, Rumah Sakit Rusak, Puskesmas Rusak dan sebagainya), investasi dan pembangunan ekonomi yang tidak terarah dan tidak jelas; tatanan pemerintahan yang kurang baik dan tidak demokratis (terjadi inequality), terjadi penyelewengan dan penyalagunaan kekuasaan (KKN masih ada), public goods yang sulit terpenuhi (air bersih, listrik, jalan beraspal), akses dan partisipasi masyarakat yang rendah dalam kebijakan pemerintah, birokrasi yang arogan (masih menunggu instruksi), suprastruktur dan infrastruktur politik yang lemah (DPRD 4d dan 5d, parpol sentral korupsi, birokrasi yang kumpulan anak, menantu, ipar, istri) dan sebagainya.
Berdasarkan data resmi Bappenas 2005, ada sekitar 58,72% masyarakat di Kabupaten Manggarai yang hidup di bawah garis kemiskinan (NTT 16,66%, nasional 16,66%) dari total penduduk Manggarai yang mencapai 482.339 jiwa (data terakhir versi Kompas 2007 sudah mencapai 603.000 jiwa). Lihat Grafik Berikut:
Penduduk miskin tersebar di 12 kecamatan, 27 kelurahan dan 227 desa yang ada di Kabupaten Manggarai. Jika dibuat skala 1-6 dengan ketentuan 1-2 kemsikinan rendah, 3-4 kemiskinan sedang dan 5-6 kemiskinan tinggi atau sangat miskin, maka proporsi penduduk kabupaten Manggarai yang sangat miskin ada di Kecamatan Satarmese (7501-7503), kemiskinan sedang Mborong, Ruteng, Cibal, Elar, Lambaleda dan Reo (3001-7500) dan kemiskinan rendah ada di Kecamatan Waerii, Sambi Rampas dan Kota Komba (1575-4500) jiwa penduduk. Untuk jelasnya, lihat grafik berikut ini.
Data yang lain juga menunjukkan bahwa terdapat akses yang terbatas untuk memperoleh dan melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Kabupaten Manggarai, akses dan kesempatan perempuan yang terbatas mulai dari sekolah dasar, akses dan partisipasi perempuan yang terbatas di DPRD, dan persentase masyarakat yang menderita berbagai penyakit yang masih tinggi.
Untuk Persentase partisipasi di SMP, Kabupaten Manggarai baru mencapai 51,3% (NTT 38,7%, Nasional 71,8%), Partisipasi Perempuan di SD hanya mencapai 45,1% (NTT 44,4%, nasional 48%), Persentase Partisipasi perempuan di SMP di Kabupaten Manggarai baru mencapai 39,63% (NTT 45,82%, Nasional 49,6%), Persentase Partisipasi Perempuan di DPRD hanya mencapai 6,7% di bawah kuota 30% (NTT 10,4%, Nasional 11,0%), Persentase kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan mencapai 36,66% (NTT 46,11%, Nasional 70,9%), Angka kematian ibu melahirkan 553 orang per tahun (NTT 330, Nasional 307), dan persentase masyarakat di Kabupaten Manggarai yang meninggal karena penyakit Malaria mencapai 63,96% (NTT 26,1%, Nasional 13,4%). Untuk jelasnya lihat grafik berikut ini;
Dari total APBD kabupaten Manggarai yang mencapai 400 milyar rupiah per tahun, (APBD 2006) menunjukkan bahwa komitmen terhadap pemberdayaan politik masih sangat lemah. Hal ini ditunjukkan dengan alokasi penggunaan anggaran yang masih diprioritaskan untuk hal-hal yang kurang berhubungan langsung dengan peningkatan kualitas hidup dan kapasitas masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dari format penggunaan anggaran APBD Kabupaten Manggarai tahun 2007 terlihat sekali bahwa untuk belanja pegawai, oprasional pegawai dan pengadaan fasilitas birokrasi hampir mencapai 39%, pendidikan 30%, pekerjaan umum 22%, kesehatan 7% dan pertanian 2%. Untuk jelasnya lihat grafik berikut.
Prioritas penggunaan anggaran yang tidak mengarah pada pemberdayaan politik masyarakat (peningkatan skil, akses dan partisipasi), sangat mempengaruhi akses dan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik.
Berdasarkan data yang diterbitkan oleh LP3Es dan Kompas tahun 2006, angka partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik di Kabupaten Manggarai baru mencapai 30%. Ini cukup jauh dengan komposisi partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik secara nasional yang sudah mencapai 70%. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik, menurut saya lebih banyak disebabkan oleh bekerjanya state corporatism dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Manggarai yang ditandai oleh; (1) dominasi birokrasi dalam pengambilan kebijakan; (2) massa sengaja disingkirkan dari arena kebijakan publik—untuk menghindari kritikan dan perlawanan masyarakat terhadap bekerjanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pemerintahan; (3) kelas menengah dan pengusaha lokal yang lebih banyak tergantung pada koneksi politik dengan birokrasi lokal.
Hasil penelitian Praktikno tahun 2006 menunjukkan bahwa korporatisme negara di Provinsi NTT, khususnya di Kabupaten Manggarai ditunjukkan oleh besarnya cengkaraman dan dominasi birokrasi dalam proses politik. Kuatnya peran birokrasi ini ditunjukkan oleh lemahnya pengawasan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, rendahnya kapasitas DPRD dalam mengontrol jalannya pemerintahan dan terpasungnya partai politik dalam mengendalikan jalannya pemerintahan. Pemerintahan di Kabupaten Manggarai pun, minus pengawasan dan kontrol masyarakat sipil. Tidak heran jika birokrasi di Kabupaten Manggarai menjadi kekuatan politik yang sangat dominan. Birokrasi memperoleh basis material kekuasaannya dari APBN (APBD) yang dengan bantuan kapitalis lokal dan bekerjasama dengan negara, menggunakan sumber material (pajak rakyat) untuk mengakumulasi kapital.
State Corporatism di Kabupaten Manggarai dengan sengaja memberikan ruang bagi kemiskinan yang merajalela—karena terjadi penyalagunaan uang negara—yang seharusnya untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat, malah yang terjadi lebih banyak dipakai untuk kepentingan birokrasi. Karakter umum birokrasi di Kabupaten Manggarai juga, lebih banyak menghabiskan uang—tetapi tidak berpikir tentang bagaimana caranya mendapat uang untuk pembiayaan pembangunan. Akibatnya, masyarakat terus hidup di bawah garis kemiskinan dan busung lapar.
Dari aspek kapasitas lembaga-lembaga politik, kamampuan lembaga-lembaga politik di Kabupaten Manggarai juga masih sangat rendah. Hal ini sangat mempengaruhi, kualitas pelayanan publik, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan dalam menyediakan public goods yang dibutuhkan masyarakat. Berdasarkan data yang ada, kapasitas birokrasi baru mencapai 44,4%, DPRD 35%, Partai Politik 40% dan KPUD 40%. Nampak bahwa kualitas lembaga-lembaga politik tersebut cukup diragukan untuk mengambil peran sentral dalam mengatasi persoalan masyarakat dan bahkan dalam berbagai kesempatan justru lebih banyak menghadirkan persoalan ketimbang menyelsaikan masalah. Walaupun birokrasi menunjukkan persentase yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga politik yang lain, tetapi secara nasional, kualitas lembaga-lembaga politik ini sangatlah rendah.
Kapasitas ini diukur dari kemampuan membuat regulasi, mendistribusikan berbagai sumber daya, mengoptimalkan peranserta masyarakat, kecepatan dalam merespons persoalan-persoalan masyarakat dan kemampuan dalam mengatasi konflik. Birokrasi nampak lemah dalam memobilisasi sumber daya, merespons persoalan aktual masyarakat, menyediakan public goods yang diperlukan masyarakat, menyediakan regulasi yang tepat dan dalam mendistribusikan dan mengorganisir kebutuhan masyarakat. DPRD lemah dalam membuat Perda dan KPUD lemah dalam mengelola konflik yang ditimbulkan akibat pilkada. Selengkapnya, lihat grafik berikut.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Lembaga Transparansi Internasional tahun 2006, di tingkat nasional, lembaga yang paling korup adalah partai politik, sementara di Kabupaten Manggarai, lembaga yang paling korup adalah birokrasi, menyusul DPRD dan Partai Politik. Data tersebut tentu saja bisa membantu untuk menjelaskan bahwa persoalan pokok dalam melakukan pemberdayaan politik adalah bagaimana meminimlakan terjadinya korupsi dan penyalagunaan kekuasaan yang terjadi dalam tubuh pemerintahan. Minimalisasi KKN, mesti dimulai dari usaha untuk menyediakan arena bagi masyarakat dalam pemerintahan dan disertai juga dengan peningkatan keterampilan politik masyarakat dalam mengontrol dan mengendalikan pemerintah. Selanjutnya lihat grafik berikut.
Di sinilah pemberdayaan politik memainkan peran sentral. Disamping untuk meminimalkan terjadinya KKN dan penyelewengan kekuasaan, juga untuk memastikan seberapa besar komitmen kebijakan dan kinerja lembaga-lembaga politik terhadap pelayanan publik, tatanan pemerintahan yang baik dan terutama terhadap kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat.
Alur Pemberdayaan Politik
Bagaimana kita melakukan pemberdayaan politik di calon Kabupaten Manggarai Timur? Bagaimana format (alur) pemberdayaan politik untuk Kabupaten Manggarai Timur? Dan siapa kelompok atau individu yang menjadi sasaran pemberdayaan politik itu? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu memulai dari pemahaman terhadap apa yang dimaksud dengan pemberdayaan politik (political empowerment). Menurut Lucian Pye (1963) pemberdayaan politik berhubungan dengan peningkatan peranserta dan peningkatan kualitas dan keterampilan masyarakat dalam sistem politik. Bank Dunia (2006) mendefinisikan pemberdayaan politik sebagai keikutsertaan dan partisipasi multipihak, terutama kaum perempuan dan kelompok miskin dalam proses politik dan pengambilan kebijakan publik. Sementara banyak pakar yang lain—semacam Samuel P. Huntington, Goran Hyden, Almond, Powell, Larry Diamond, David Held, Archon Fung, Douglass C. North, B. Guy Peters, Graeme Gill, Kevin Mattson dan sebagainya, mendefinisikan pemberdayaan politik sama dengan; pembangunan politik, penerapan prinsip good governance, institusionalisasi politik, penguatan tatanan pemerintahan yang demokratis, peningkatan kapasitas lembaga-lembaga politik, pendalaman demokrasi (deepening democracy), penguatan demokrasi (reinforcement democracy), pertumbuhan demokrasi di negara-negara berkembang (democratic growth), pemenuhan hak-hak dasar rakyat, perbaikan layanan publik dan penyediaan public goods, peningkatan akses dan partisipasi masyarakat dalam proses politik dan kebijakan, perubahan sikap dan tingkahlaku masyarakat berhubungan dengan lembaga-lembaga politik, penambahan skil dan keterampilan politik masyarakat.
Dengan demikian, pemberdayaan politik sebenarnya mencakup; (1) pembangunan politik; (2) penerapan prinsip good governance; (3) institusionalisasi politik; (4) penguatan tatanan pemerintahan yang demokratis; (5) peningkatan kapasitas lembaga-lembaga politik; (6) pendalaman demokrasi (demokrasi deliberatif); (6) penguatan demokrasi; (7) pemenuhan hak-hak dasar rakyat (ekonomi, sosial dan politik); (8) perbaikan layanan publik dan penyediaan public goods; (9) peningkatan akses dan partisipasi masyarakat; (10) perubahan sikap dan tingkahlaku politik (bergeser dari tradisionalitas ke rasionalitas); (11) dan peningkatan skil dan keterampilan politik masyarakat.
Menurut Samuel P. Huntington, pembangunan politik mencakup; (1) rasionalisasi kekuasaan yang mengarah pada pergantian sejumlah besar pejabat-pejabat politik tradisional, etnis, keagamaan dan kekeluargaan oleh kekuasaan yang bersifat sekuler. Di sini menunjukkan bahwa kekuasaan merupakan produk kerja manusia, bukan wahyu ilahi atau produk alam; (2) diferensiasi fungsi politik dan spesialisasi struktur sesuai dengan kapasitas masing-masing individu; (3) peningkatan peran serta masyarakat dalam proses politik dan kebijakan publik (Huntington, 1992). Penerapan prinsip good governance berhubungan dengan; (1) respons pemerintah daerah terhadap persoalan masyarakat; (2) partisipasi dan akses masyarakat dalam pemerintahan; (3) transparansi anggaran dan kebijakan publik; (4) akuntabilitas kekuasaan; (5) efektivitas dan efisiensi program dan anggaran negara; (6) inovasi dan kretaivitas masyarakat dan pemerintah. Institusionalisasi politik berhubungan dengan; (1) peningkatan kapasitas dan keterampilan individu dalam berpolitik; (2) peningkatan kualitas dan keterampilan lembaga politik dalam sistem politik; (3) pergeseran nilai dan prilaku politik. Penguatan tatanan pemerintahan yang demokratis mencakup; (1) akses dan partisipasi masyarakat dalam proses politik dan kebijakan publik; (2) kontestasi politik yang egaliter dan sekuler; (3) keterlibatan perempuan dan kaum miskin dalam pengambilan kebijakan dan pengelolaan pemerintahan yang berbasis pada prinsip-prinsip demokrasi. Penguatan demokrasi mencakup; penghargaan terhadap hak-hak dasar masyarakat; perbaikan layanan publik, pengadaan public goods dan sebagainya.
Dengan demikian arena utama pemberdayaan politik sebenarnya mengarah pada; (1) aspek pendidikan untuk meningkatkan keterampilan dan daya literasi masyarakat terhadap sistem politik;(2) ekonomi untuk memberikan jaminan hidup dan kesejahteraan bagi masyarakat; (3) arena politik untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis. Huntington percaya bahwa pendidikan merupakan instrumen utama untuk melahirkan masyarakat yang santun, kritis dan demokratis. Sementara arena ekonomi dipandang Barington Moore sebagai tonggak dasar pertumbuhan borjuasi—pengusaha lokal yang menjadi basis dari demokrasi modern. Barington Moore mengatakan ”no bourgeois no democracy”. Demokrasi hanya bisa tumbuh di atas borjuasi (pengusaha) dan kelas menengah yang kuat. Tanpa itu, demokrasi akan menjadi berantakan, penuh konflik dan tidak terarah.
Sejalan dengan kebijakan pemekaran Kabupaten Manggarai Timur, maka dalam waktu dekat, Kabupaten Manggarai Timur akan mengalami; Pertama, pembangunan politik yang menyertakan rasionalisasi, diferensiasi dan partisipasi masyarakat dalam sistem politik. Rasionalisasi dilakukan dengan cara mutasi dan rekrutmen PNS untuk ditempatkan di Kabupaten Manggarai Timur. Rasionalisasi ini, tentu saja dilakukan berdasarkan kebutuhan di Kabupaten Manggarai Timur. Akan banyak sekali lowongan dan ketersediaan kesempatan kerja dalam birokrasi pemerintah. Rasionalisasi tersebut menuntut diferensiasi dan spesialisasi tugas dan fungsi yang lebih rasional. Di sisi lain, terbuka lebar arena partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam proses politik. Kedua, akan muncul tuntutan dan kebutuhan untuk menerapkan prinsip good governance dalam penyelenggaraan pemerintaha—sebagai konsekuensi dari pemekaran yang menuntut kualitas layanan publik, pemenuhan kesejahteraan rakyat dan penyediaan public goods yang lebih berkualitas. Ketiga, munculnya institusi-institusi politik baru semisal KPUD, partai politik, DPRD dan birokrasi yang memainkan peran sentral dalam kontestasi politik—ini menuntut adanya kapasitas, keterampilan dan sikap politik yang lebih rasional. Keempat, tuntutan untuk memperkuat tatanan pemerintahan yang demokratis—dimana keterlibatan perempuan dan kaum miskin dalam pengambilan kebijakan sangat diperhitungkan.
Kondisi Riil Manggarai Timur
Pemekaran Kabupaten Manggarai Timur, diwarisi sejumlah persoalan akut oleh kabupaten induknya-Manggarai. Persoalan akut tersebut berhubungan dengan kemiskinan kronis (busung lapar), kesehatan rentan, pendidikan rendah, public goods yang kurang berkualitas (jalan raya rusak dan berlubang-lubang, rumah sakit rusak, sekolah rusak, air bersih tidak tersedia, listrik yang tidak ada), dan layanan publik yang kurang prima.
Persoalan-persoalan tersebut, sebenarnya merupakan produk dari state corporatism yang selama ini sangat dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Manggarai. Korporatisme negara ini terjadi dalam bentuk: Pertama, dominasi birokrasi dalam proses politik dan pembangunan. Arena politik menjadi ruang kontestasi yang hanya melibatkan peranserta birokrasi. Tidak heran apabila, setiap kepala daerah di Kabupaten Manggarai, selalu berasal dari birokrasi. Disamping kultur politik yang memberikan kepercayaan kepada birokrasi, juga terdapat keengganan birokrasi untuk merelakan arena politik kepada masyarakat—nonbirokrasi.
Kedua, tersingkirnya masyarakat secara sistematis dalam proses politik dan kebijakan publik—Ini mengakibatkan tidak hadirnya kontrol dan pengawasan masyarakat atas kinerja pemerintah. Kita menyaksikan bahwa kinerja pemerintah Kabupaten Manggarai sangat lemah dalam menyediakan public goods dan dalam memberikan layanan publik yang berkualitas bagi masyarakat. Dimana-mana masyarakat Manggarai kesulitan akses ke kota—karena kurang tersedianya jalan raya yang beraspal, kurangnya air bersih, tidak tersedianya listrik, rumah sakit yang tidak terjangkau dan sekolah-sekolah dasar yang mirip “kandang ayam”. Fenomena tersbut—tidak masuk akal jika disebabkan oleh keterbatasan APBD—selain disebabkan oleh penyalagunaan APBD akibat lemahnya kontrol dan pengawasan masyarakat.
Ketiga, lembaga-lembaga politik lain di luar birokrasi seperti partai politik dan DPRD, sengaja diperlemah dan direpotkan oleh pertentangan internal untuk memudahkan mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan birokrasi. Usaha untuk melemahkan DPRD dan partai politik dilakukan dengan cara membagi-bagi hasil korupsi APBD yang dilakukan secara bersama dengan pemerintah, memberikan kesempatan kepada anggota DPRD untuk melakukan studi banding dan bahkan menyediakan arena 3B (bar, bir, bor) bagi anggota DPRD dan partai politik. Dalam kasus studi banding yang dilakukan oleh anggota DPRD pada waktu yang lalu ke Yogyakarta—ada kesan yang kuat bahwa studi banding itu dilakukan untuk menyediakan fasilitas 3B kepada anggota DPRD—sebagai upah dari kritikan dan penolakan atas hasil pilkada.
Keempat, borjuasi, kelas menengah dan masyarakat sipil di Kabupaten Manggarai merupakan “silent majority”—karena menikamti sumber materil yang sama dari birokrasi. Umumnya borjuasi lokal di Kabupaten Manggarai tumbuh dari hubungan baiknya dengan birokrasi—sehingga lebih muncul sebagai client capitalism atau kapitalisme kroni yang tidak memiliki modal investasi yang cukup kuat. Modal diperoleh akibat konsi politik dan kerjasama yang intens dengan pejabat di dalam birokrasi. Hasil penelitian Praktikno (2006) menunjukkan bahwa birokrasi di Kabupaten Manggarai muncul sebagai rent seekers atau pemburu rente yang dengan keterampilan politiknya memanfaatkan sumber daya negara (hasil pajak rakyat/APBD) untuk mengakumulasi kapital. Akumulasi kapital dilakukan dengan cara melakukan korporatisasi dan kerjasama yang intensif dengan pengusaha lokal. Dengan kata lain, sebagian besar dana APBD dicuri dengan cara memberikan proyek kepada kolega mereka yang disebut dengan pengusaha lokal—yang sebenarnya pengusaha lokal tersebut tidak memiliki modal sendiri—tetapi mengandalkan proyek yang diberikan secara khusus oleh pejabat dalam pemerintahan. Pemberian proyek baik dilakukan dengan mekanisme tender, maupun tanpa tender, dengan memilahkan terlebih dahulu konsi politik atau bukan.
Menghadapi sejumlah persoalan tersebut, maka agenda pembedayaan politik yang perlu dilakukan di Kabupaten Manggarai Timur adalah; (1) membuka akses dan partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam bidang pendidikan—supaya tidak mudah dimanipulasi dan dimobilisasi oleh kekuatan birokrasi dalam politik—pada level kultural model ini akan menghancurkan indoktrinasi yang ditanamkan kaum birokrat di Kabupaten Manggarai yang menganggap bahwa PNS sebagai posisi yang paling strategis dan terpandang dalam masyarakat—padahal nyata bahwa di Kabupaten Manggarai—menjadi PNS berpeluang untuk mengeksploitasi dan membodohi masyarakat untuk kepentingan terselubung—kekuasaan dalam pemerintahan; (2) mendorong dan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk berwirausaha—ini untuk mendidik masyarakat agar tidak tergantung pada pemerintah—pada level kutural ini bisa menghancurkan budaya rent seekers atau kapitalis komprador yang melakukan kegiatan ekonomi karena adanya koneksi dengan pejabat pemerintah; (3) memperkuat kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil bagian dalam sistem politik—mendorong sebanyak mungkin masyarakat yang cerdas dan kritis agar mau menjadi anggota DPRD, Partai Politik dan KPUD—ini untuk meningkatkan peranserta masyarakat lokal dalam proses politik—pada level kultural hal ini bisa berpengaruh terhadap hancurnya budaya politik parokial dan subjektif yang masih kuat berakar dalam masyarakat Manggarai Timur—penguatan kapasitas masyarakat dilakukan dengan cara mendidik dan melatih masyarakat untuk tahu dan mengerti tentang cara kerja pemerintah, partai politik, DPRD, KPUD dan terutama dalam membuat regulasi dan kebijakan publik yang berhubungan dengan masyarakat; (4) memperkuat kapasitas masyarakat dalam mengontrol dan mengawasi pemerintah daerah—ini untuk memperkecil dan meminimalkan penyalagunaan kekuasaan—secara kultural untuk menciptakan clean and good government; (5) meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam membuat regulasi, mendistribusikan berbagai sumber daya, menyediakan public goods, menata dan mengelola pemerintahan dengan baik, mampu merespons persoalan-persoalan masyarakat dan bertanggunghawab; (6) memperkuat kapasitas DPRD dalam membuat regulasi, mengendalikan anggaran pemerintah, mengawasi kinerja pemerintah daerah dan dalam mengadvokasi persoalan-persoalan masyarakat; (7) memperkuat kapasitas NGO dan pengusaha-pengusaha lokal untuk mengambil bagin sentral dalam pengelolaan pemerintahan; (8) mendidik masyarakat, pemerintah, DPRD, KPUD dan pengusaha lokal agar menjadi patner multipihak dalam membangun dan menjalankan pemerintahan daerah; (9) memperkuat akses masyarakat terhadap pelayanan publik dan menjamin hak-hak ekonomi, politik dan sosial mereka bisa terpenuhi oleh pemerintah secara layak; (10) memperkuat kapasitas perempuan dan kaum miskin agar memperoleh prioritas dalam kebijakan ekonomi dan politik; (11) menggalakkan komitmen dan kerjsama multipihak untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, bebas dari KKN dan bertanggungjawab dalam memenuhi hak-hak dasar masyarakat.
Dengan serangkaian agenda tersebut, apabila dilakukan dengan serius, disertai dengan komitmen yang tulus—maka harapan pemekaran Manggarai Timur menjadi kabupaten yang makmur, adil dengan pemerintahan yang bersih—cepat atau lambat akan terwujud.***
Komentar
Posting Komentar